Assalamu'alaikum.....
alhamdulillah mufy sudah bisa bikin blog lagi.... enggak tau kenapa masih coba berpetualang di dunia blogging.... karena memang rasa penasarannya masih terus ada sama dunia maya.. makanya ga mau berhenti nyoba...
sebagai calon pendidik mufy merasa sangat perlu bagi seorang guru untuk aktif dalam dunia tulis menulis, ilmu yang di ajarkan tidak hanya sekedar disampaikan secara lisan, tapi alangkah baiknya disampaikan melalui tulisan, karena kalau hanya lisan saja audiensnya hanya yang terdekat saja, atau hanya yang mendengarkan saja, tapi untuk mereka yang nun jauh disana akan sulit mendapatkan pengajaran bila hanya disampaikan lewat lisan. karenanya penyampaian pesan lewat tulisan pun dirasa sangat diperlukan bila melihat perkembangan dunia global saat ini.
pengajaran lewat tulisan bisa dilakukan dengan menulis buku, Artikel, Jurnal, ataupun artikel di internet, yaa contohnya nulis-nulis di blog.. mufy berharap semua guru di Indonesia mampu membuat karya baik tulisan, penemuan, maupun yang lainnya... dan mufy berharap semua guru mau dan mampu menulis baik di media cetak maupun media elektronik.....
oya, bagi teman-teman sekalian.. yang ingin lihat blog mufy yang lainnya silahkan kunjungi di:
mufeecrf.blogspot.com
muflihah.yolasite.com
terimakasih...
wassalam....
Kamis, 09 Agustus 2012
Konsep Mahabbah Rabi'ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-‘adawiyah
Rabi’ah berasal dari basrah, beliau hidup dan
tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan
penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak
biasa tampak pada anak kecil seusianya.
Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang
dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan
pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau cenderung
pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti gadis yang
lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana
ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau teladani
dari ayahnya, termasuk dalam hal memilih makanan yang halal, sampai suatu
ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping ayahnya
yang hendak makan di meja makan, kemudian rabiah terdiam seolah meminta
penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian rabiah
berkata:”ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal”,
dengan wajah penuh heran ayahnya menatap wajah Rabiah kecil itu sambil bertanya
balik:”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak
halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik
kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau
sudah menunjukkan kematanagn pemikiran
dan memiliki akhlak yang baik.
Beliau ditinggal pergi oleh kedua
orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih kecil bersama ketiga orang
saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang
sehari-hari digunakan ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah.
Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam
yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bermunajat kepada Allah
SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya yang
memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu
beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi
kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah
karena alasan yang bersifat moral dan spiritual, sebagaimana hasan Al-bashri
yang hendak bertanya kepada beliau tentang
alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau
menjawab:”pernikahan merupakan
keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan
dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan
dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau
menjawab:”di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat
melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama
apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam
keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan
menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang
mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau
kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan
keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi
meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”.
Rasa cinta tak mungkin terwujud
kecuali setelah tertanam keyakinan yang teguh, dan karena
itu pula orang yang paling sempurna cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad
SAW sehingga orang-orang Arab memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih
Allah”. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk
merasakan kenikmatan iman, mengenai hal ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika
dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa
nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan
RasulNya dari pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka
cintanya karena Allah, dan yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah
Allah menyelamatkannya seperti ia tidak senang dilempar ke dalam neraka”.
Selain itu rasa cinta sulit sekali untuk
didefinisikan, sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu
luas untuk didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta
kepadaNya adalah selalu menyambut seruan
orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya, selain itu ia
melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju yang
maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu
menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.
Sedangkan kerinduan adalah keinginan
hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Allh yang dikobarkan di hati
kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang terpendam di hati mereka.
Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia ingin segera menmui
kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta sudah mencapai
tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang menjadi cinta
yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci, bergetar
seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan
keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada
derajat fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara zohir, karena yang
dirasakan hanyalah Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan,
kepedihan, atau cobaan apapun yang
menimpanya.[1]
Ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa Sufyan
ats-Sauri memegang tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah
aku kepada guru (Rabiah), sebab jika aku berpisah darinya maka aku tidak akan
mendapatkan ketentraman”. Dan
ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannya dan
berkata:”wahai tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis
sambil berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya
dapat dicapai dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana
kau bisa meminta seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”.
Syaiban
al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabiah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang
tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam
penuturan yang lain rabiah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi
Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada
sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada makhluk”.
Muhammad bin washi pernah bertanya kepada
Rabiah, kenapa kau (Rabiah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun), Rabiah menjawab “semalam aku
mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk
karenanya”.
Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabiah “bagaimanakah cara
yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil
menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia
harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini
selain Dia”.[2]
Mengenai akhir hidup Rabiah, Muhammad bin Amr
berkata, “Aku datang melihat Rabiah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia
delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh
dari gantungannya. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi
Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya
dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan,
“Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan
jubahku.
Rabiah memang tidak ingin menyusahkan orang
lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi
Rabiah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah
!” lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang
menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu,
terdengar suara Rabiah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr : 27-30).
Rabiah
telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi
orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr
al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabiah masih terus
hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.[3]
Mahabbah
المحبّة :
أ)
المبتداء :
يتوالد ذلك من احسان الله تعالى اليهم وعطفه عليهم
ب) الخصوص : يتوالد من نظر
القلب الى غناء الله وجلاله زعظمته وعلمه وقدرته وهو حبّ الصادقين والمتحققين
ت) الصادقين والعارفين : تولد من نظرهم
ومعرفتهم بقديم حب الله تعالى بلا علة فكذ لك احبوه بلا علة
ث) المحبة : دخول صفات
المحبوب على الحال من صفات المحبّ فهذا على
معنى قوله :حتى احبه فإذا احببته كنت عينه التى يبصر بها وسمعه الذى يسمع به ويده
التى يبطش بها
Mahabbah dimaksudkan di sini ialah
mahabbatullah, cinta kepada Allah, sebagai kelanjutan daripada ma’rifah. Karena
itulah maka setelah ma’rifah terhadap Allah yang membuahkan iman yang
sebulat-bulatnya, setelah menyadari akan kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya,
keindahan-Nya dan kasih sayang-Nya, kemurahan-Nya serta sifat-sifat lain yang
mengiring-Nya maka menjelmalah cinta kepada-Nya.
Mahabbah kepada Allah bukanlah sembarang cinta
melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut
Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa, Mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
sebesar-besar kewajiban iman, cirinya orang yang beriman itu ialah terlebih
cinta kepada Allah dibandingkan dengan cintanya kepada apapun dan siapapun[4]:
“ Adapun orang-orang yang beriman
Amat sangat cintanya kepada Allah”
Menurut Al-gozali,cinta kepada Tuhan itu
adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi, segala maqam yang
sesudahnya adalah buahnya dan segala maqam yang sebelumnya adalah hanya
pendahuluan untuk mencapai mahabbah.[5]
Rasa cinta kepada Tuhan itu sudah bergerak
dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya. Menurut Al-Ghazali,
itulah daya penggerak yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya.
Menurut Al-Palimbani, makrifah yang hakiki itu lahir dari rasa cinta (mahabbah);
tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan
demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan
sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain. [6]
KONSEKWENSI MAHABBAH
Sudah menjadi kelaziman (tabiat) setiap cinta
itu ada konsekwensinya, antara lain pembuktian cinta itu dengan kesetiaan
bahkan dengan pengorbanan. Dengan demikian orang yang mencintai Allah dengan
sungguh-sungguh siap pula melakukan sesuatu yang menghayati cintanya itu dan
yang terpokok daripadanya mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Sebagai manifestasi daripada mahabbah ialah
rela berkorban dan berjihad di jalan Allah. Orang yang cinta dan dicintai oleh
Allah dengan berjihad di jalan-Nya tidak lagi takut kepada celaan dan cemoohan
kepada manusia.[7]
PENGARUH ALIRAN KHAWARIJ, SYI’AH DAN SUNNI TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
A.
KHAWARIJ
Kaum
Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang artinya menjual atau mengorbankan
diri kepada Allah.[1]
Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal
terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan
berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dann keras, Ali dianggap
bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan
Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam
pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disebutkan diatas adalah salah
dan sesat. Khawarij juga melahirkan beberapa sekte, diantaranya Muhakkimah,
Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah. Adapun pemikiran fiqihnya antara lain :
1.
Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu
memimpin. Berbeda dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy.
Selain itu, orang yang melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu
Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa
wajib hhukumnya untuk menentang pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah.
2.
Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya
termasuk dalam rukum iman, sehingga iman tidak cukup dengan penetapan didalam
hati dan ikrar dilisan saja.
3.
Hukuman zinah cukkup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran
Al-Qur’an, sedang rajam adalah ajaran hadits sebgaia tambahan dari Al-Qur’an.
4.
Ayat “Banatukum” dalam ayat larangan nikah, cukup diartikan
anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.
5.
Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.
6.
Yang disebut Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan
lainnya, yang selain itu bukanlah disebut Ghanimah.
7.
Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli
waris boleh mendapatkan warisan.
8.
“Radho’ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara
satu susu boleh dinikahi.
9.
Thaharah adalah
suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat
atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka
shalat itu batal.
Pemahaman Khawarij ini berimlpikasi
terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan
diantaranya adalah masalah thaharah. Sebagaimana disebutkan oleh Manna
Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam yang paling ekstrim dalam
melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.
Khawarij hanya mengakui Al-Qur’an sebagai
satu-satunya sumber Tasyri’ sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’
atau yang lainnya. Akibatnya
adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham
berbeda dengan Al-Qur’an. Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana
para sahabat atau tabi’in menggunakan
sunnah dan ijma’.[2]
B.
SYI’AH
Syiah
berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah
Syiya'un. Syiah adalah kelompok muslim yang setia kepada Ali r.a dan keluarga
serta keturunannya. Mereka berpendapat bahwa khalifah itu sebenarnya hak Ali
sebagai penerima wasiat langsung dari Rasulullah saw untuk menggantikan
kepemimpinan beliau.[3]
Syi’ah adalah segolongan dari umat
Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara
berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku
jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang
diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.
Syi’ah ini dalam kaitannya dengan
masalah pewaris jabatan khalifah, terbagi-bagi dalam berbagai sekte, ada Syi’ah
Kaisaniyah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah Ja’fariyah.
Masing-masnig sekte tersebut menjadikan hak jabatan khalifah pada bagian
tertentu dari keturunan Ali bin Abi Thalib.[4]
Dalam refrensi lain bahwa Syi’ah dalam
perkembangannya mereka mengkultuskan Ali dan keluarganya, sehingga mereka
pun percaya bahwa Ali dan keluarganya
adalah maksum. Sementara
aliran fiqih dalam Syi’ah ada dua, yakni Ushuli dan Akhbari.
Seperti halnya dengan Khawarij, Syi’ah tidak
mengakui adanya ijma’ atau qiyas. Qiyas ditolak karena berdasarkan pada akal,
bukan nash. Syi’ah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya dan Imam sebagai sumber
otoritas pembentukan hukum Islam, sehingga pendapat kelompok ini banyak berbeda
dengan pendapat Sunni, baik dalam Ushul atau Furu’. Dalam Ushul misalnya,
mereka menolak adanya nasakh dan mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya
nikah mut’ah sampai hari kiamat kelak.
Diantara contoh pemikiran hukum
golongan Syi’ah adalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an mempunyai dua arti lahir dan bathin, yang mengetahui
keduanya hanyalah Allah, Rasul dan Imam. Imam mengetahui makna bahtin Al-Qur’an,
karena para Imam tersebut dianggap maksum oleh mereka dan diberikan ilmu yang
setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya mengetahui dzahirnya saja.
2.
Membolehkan nikah mut’ah.
3.
Orang syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab.
4.
Hadits Nabi yang dianggap shahih oleh kelompok ini hanyalah
hadits-hadits yang diriwayatkan dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadits
yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah, meskipun derajat keshahihannya
tinggi tidak akan diterima oleh mereka. Demikian pula dalam masalah furu’ dan
ushul mereka akan menerima jika disetujui oleh Imam mereka.
5.
Dalam kalimat azan “Hayya
‘Alal Falah” dalam pandangan Syi’ah ditambah satu kalimat lagi yaitu “Hayya
‘Ala Khairil Amal”.
6.
Masalah warisan bagi perempuan, perempuan hanya mendapatkan benda
bergerak saja, tidak seluruh jenis harta.
7.
Waktu shalat hanya tiga, dzuhur dan ashar (Dhuluqi syamsi), Magrib
dan Isya (Ghosyaqillaili) dan subuh (Qur’anal Fajri).
8.
Dalam sujud tidak menggunakan alas tempat sujud yang dibuat tangan. Biasanya mereka menggunakan
tanah atau batu dari karbala.[5]
C.
SUNNI (AHLUS- SUNNAH WAL JAMA’AH)
Golongan
ini adalah orang-orang yang bersikab
abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun kedalam pergolakan politik.
Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya.
Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian
yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran
syari’at berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah yang suci serta
riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah
yang terjadi diantara sahabat diakhir khalifah Ali bin Abi Thalib.
Metode
yang dipakai golongan ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum Syari’at:
1.
Kelompok yang
berpegang pada dzahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli
hadits.
2.
Kelompok yang
mencari ilat-ilat hokum dan hikmahnya dari nash-nash baik Al-Qur’a dan sunnah
dan kelompok ini dinamakan ahlul ra’yi.[6]
Golongan
ini disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti penganut sunnah
Nabi, sedangkan wal Jama'ah ialah penganut i'tiqad Jama'ah sahabat-sahabat
Nabi. Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad
sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau.
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti
pendirian Syiah dan Khawarij. Golongan ini tidak berpendapat bahwa jabatan
khalifah itu merupakan wasiat yang diberikan kepada seseorang. Tetapi mereka
berpendapat bahwa jabatan khalifah itu dipilih dari suku Quraisy yang cakap
kalau ada. Golongan ini tidak mengutamakan khalifah-khalifah dengan yang lain
dari kalangan sahabat. Mereka menta'wilkan persengketaan yang terjadi
dikalangan sahabat dengan soal ijtihad dalam politik pemerintahan yang tidak
ada sangkut pautnya dengan masalah iman dan kafir. Termasuk prinsip yang
diyakini oleh golongan ini adalah bahwa Diin dan Iman merupakan
ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan
anggota badan. Dan sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang
karena maksiat.
Diantara
pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah adalah :
1.
Penolakan
terhadap keabsahan nikah mut'ah. Bagi Jumhur, nikah mut'ah haram dilakukan
2.
Jumhur
menggunakan konsep aul dalam pembagian harta pusaka
3.
Nabi Muhammad
saw tidak dapat mewariskan harta
4.
Jumlah
perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran
terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim)
5.
Persaudaraan
iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat
6.
Orang-orang
fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal
dalam neraka, dan masih tergolong beriman atau bisa juga dikatakan beriman
tidak secara mutlak
7.
Para sahabat
itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar
maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu
ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal
terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan
berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dann keras, Ali dianggap
bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan
Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah.
Syi’ah adalah segolongan dari umat
Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara
berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku
jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang
diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.
Ahlussunnah
wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh
Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah
adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij.
Langganan:
Postingan (Atom)