Kamis, 09 Agustus 2012

Historiografi Islam


BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji ( verifikasi ), dan diinterpretasi. Sesuai dengan tugas  penelitian sejarah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis ( historiografi ).  
Penulisan sejarah tidak semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan informasi dan argumentasi. Penulisan  sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilupakan bahwa ia adalah juga karya sastera yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta nada retorika tertentu.
            Karya penulisan penelitian sejarah dapat mengambil beberapa bentuk seperti paper, artikel, ataubuku, bahkan dalam bentuk buku-buku yang berjilid-jilid.  Masing-masing bentuk memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, menuntut komposisi dan gaya bahasa, serta jenis-jenis kerja yang berlainan pula. Dalam penulisan ini lebih difokuskan pada prinsip-prinsip penulisan sejarah ilmiah pada umumnya.
            Menulis karya penelitian sejarah tidak cukup sekedar meringkaskan hasil-hasil penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulannya tanpa memperhatikan gaya, strategi bagaimana dapat menampilkan kemampuan penulisannya secara efektif, sehingga pembaca dapat diyakinkan dan mau menerima hasil pemahamannya melalui interpretasi mengenai peristiwa, periode, individu dan proses sejarah.









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Historiografi
Secara semantic kata “Historiografi” ,merupakan gabungan dari dua kata, yaitu History yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi/penulisan. Historiogarfi berarti penulisan sejarah yang di dahului oleh penelitian terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam[1].
Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif, adalah kejadian sejarah yang sebenarnya. Terjadi hanya sekali dan bersifat unik (History of Actuality). Sejarah dalam arti subyektif ialah gambaran atau cerita serta tulisan tentang suatu kejadian (History as Written atau Historiografi). 
Dari sudut etimologis, semula berasal dari bahasa Yunani: Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (description). Dengan demikian secara harfiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para sejarawan mengacu pada pengertian historia, sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. 
Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.[2]
Menurut Taufik Abdullah, ada 4 hal yang membatasi peristiwa masa lampau :
1.      Dimensi waktu. Kesepakatan dalam ilmu sejarah menyatakan bahwa zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis telah, sedangkan yang sebelumnya disebut “prasejarah”.
2.      Peristiwa. Pemusatan peristiwa yang menyangkut manusia, atau tindakan dan prilaku manusia.
3.      Tempat. Sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu.
4.      Seleksi. Ketika kepingan-kepingan itu merupakan bagian dari proses atau dinamika yang menjadi pusat perhatian sejarawan.
Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimana pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian.[3]

  1. Faktor-faktor Pendukung Perkembangan Penulisan Sejarah dalam Islam

Ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah  dalam Islam:
1.      Al-Qur’an, kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah. Al-Qur’an bahkan tidak hanya memerintahkan umatnya untuk memperhatikan perkembangan sejarah manusia, tetapi al-Qur’an  juga menyajikan banyak kisah.
2.      Ilmu Hadits. Ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an yang berkenaan muamalat bersifat umum dan hanya dalam garis besarnya saja. Di awal masa perkembangan Islam, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling tinggi pada waktu itu. dapat dikatakan penulisan hadits merupakan perintis jalan menuju perkembangan ilmu sejarah.
Disamping dua faktor pendukung utama perkembangan penulisan sejarah Islam (al-Qur’an dan hadits) itu, menurut Husein Nashshar, terdapat faktor-faktor yang mendorong kebangkitan gerakan sejarah dengan lebih cepat lagi. Faktor-faktor itu adalah:
a.       Para khalifah membutuhkan suatu pengetahuan yang dapat membimbing mereka dalam menjalankan roda pemerintahan, sementara hal itu tidak mereka dapatkan dalam warisan budaya mereka.
b.      Orang-orang asing yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam membanggakan diri mereka (merasa lebih super) terhadap orang-orang Arab dengan mengungkapkan sejarah dan peradaban mereka di masa lalu.
c.       Sistem pemerintahan.
d.      Penulisan sejarah juga didorong oleh keadaan di masa dimulainya gerakan menulis ilmu-ilmu yang lain yang sudah dikenal bangsa Arab ketika itu.
e.       Yang terakhir sekali adalah bahwa apa yang sudah terdapat di dalam kebudayaan Arab sebelum Islam, yaitu perhatian kepada “silsilah” dan “al-Ayyam”, semakin berkembang di masa Islam.
  1. Aliran-aliran historiografi masa awal Islam
1.      Aliran Yaman
Yaman adalah sebuah negeri yang terletak di bagian selatan jazirah Arab, karena itu sering juga disebut sebagai Arab Selatan. Berbeda dengan arab bagian utara, negeri Yaman pernah mengalami kemajuan peradaban.  Pada masa kebangkitan Islam pertama, penduduk Yaman dapat diaktakan sebagai sedikit lebih berperadaban daripada penduduk Arab Utara. Kalau penduduk Arab Utara ketika itu belum memperhatikan pentingnya tulis menulis, maka penduduk Yaman sejak lama sudah menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Mereka juga sudah mengenal kalender sejak tahun 115 SM.
Kerajaan Yaman pada masa sebelum Islam memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi seperti apa yang ditunjukkan oleh peninggalan-peninggalan kerajaan Minaea, Sabaea, dan Himyar. Pada mulanya bahan-bahan ini berasal dari cerita mulut ke mulut yang menyebutkan nama raja-raja ditambah dengan cerita-cerita dongeng yang masih kaku dan cerita-cerita lain yang masih diragukan kebenarannya, seperti peristiwa-peristiwa terakhir menjelang lahirnya agama Islam.[4]
Riwayat-riwayat tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Dia merupakan kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki tukang hikayat (narator) dan kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat-riwayat sejarah (novel sejarah). Oleh karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayat itu sebagai memiliki nilai historis.
Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya, yang terpenting diantara mereka adalah: Ka’b al-Ahbar, Wahb ibn Munabbih, dan ‘Ubayd ibn Syariyah. Mereka bertiga ini dipandang sebagai tokoh aliran Yaman.

2.      Aliran Madinah
Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam bermula di kota Madinah, kota ini merupakan negara Islam pertama sampai berdirinya Dinasti Umawiyah yang menjadikan Damaskus, Syria, sebagai ibu kota negara Islam. Di Madinah, kota hijrah, Nabi Muhammad saw menerima wahyu dan menjalankan pemerintahan dan dakwahnya hingga beliau wafat. Di kota suci agama Islam kedua setelah Mekkah ini berkumpul para sahabat besar, yang dipandang sebagai “gudang” ilmu pengetahuan keagamaan Islam.
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat, keteladanan Rasulullah dan lain sebagainya.
Perkembangan ilmu hadits itu, sebagaimana telah disebutkan, dapat dikatakan sebagai cikal bakal penulis sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi itu, para sejarawan segera memperluas cakupannya sehingga membentuk satu tema sejarah tersendiri, yaitu al-Maghazi (perang-perang yang dipimpin rasulullah) dan al-Sirah al-Nabawiyah ( Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw).
Aliran sejarah yang muncul di Madinah ini kemudian disebut dengan aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memperhatikan al-maghazi (perang-perang yang dipimpin Rasulullah saw) dan biografi Nabi (al-Sirah al-Nabawiyah) dan berjalan di atas pola ilmu hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
Sejalan dengan riwayat pengembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum islam (fiqh). Mereka itu adalah: Abdullah ibn al –Abbas, Sa’id ibn al- Misayyab , Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari, Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri dan Musa ibn ‘Uqbah.
Menurut ‘Abd al-Aziz al-Duri, perkembangan dan orientasi aliran Madinah ini sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu hukum (fiqih) dan hadits, yaitu ‘ Urwah ibn al- Zubayr dan muridnya al-Zuhri.
3.      Aliran Irak
Yang terakhir kali adalah aliran Irak (Kufah dan Bashrah). Aliran ini lebih luas di bandingkan dengan dua lairan sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para khalifah. Dalam karya-karya sejarawan aliran ini, sejarah Irak biasanya diuraikan lebih terperinci dan panjang, sedangkan yang berkenan dengan kota-kota lain hanya sepintas saja.
Kelahiran aliran Irak ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya dan peradaban adab. Perkembangan kebudayaaan bangsa Arab itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial dan budaya Islam yang tumbuh di kota-kota dan komunitas-komunitas baru.
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Pada awal abad kedua hijrah, mulai terlihat adanya perkembangan penulisan sejarah karena banyaknya orang-orang yang ahli dalam bidang silsilah kabilah –kabilah dan warisan mereka yang menulis buku-buku yang memuat nasab, syair, kisah sebagian kabilah.
Para penguasa Bani Umayyah yang sangat berorientasi kearaban itu sangat mendorong kenyataan baru yang merupakan fenomena kebangkitan sastra dan pemikiran, khusunya yang berhubungan dengan syair-syair jahiliyah dan adat istiadat Arab pra- Islam itu. Dengan dukungan dari para penguasa itu, pada masa pemerintahan Malik bin Marwan, Kufah dan Basrah berkembang menjadi kota-kota ilmu pengetahuan.
Para sejarawan aliran Irak ini, sebagaimana sejarawan Madinah, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits. Mereka tidak mungkin mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, karena prakatik-praktik penulisan sejarah yang dilakukan saat itu telah berada di bawah pengaruh ahli hadits. Namun, para sejarawan Irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara yang liberal. Bahkan kadang-kadang tidak teliti. Ini mengakibatkan kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang dari peraturan periwayatan Hadits.
Di samping ‘Ubaidillah ibn Abi Rabi dan Zayd ibn Abih, para sejarawan alirana Irak ini jumlahnya banyak, di antara yang terkenal adalah: Abu Amr ibn al-‘Ala, Hammad al-Rawiyah, Abu Mikhnaf. Yang terpenting diantara mereka adalah ‘Awanah ibn al-Hakam, Sayf ibn al-Asadi al- Tamimi dan Abu Mikhnaf.[5]
  1. Historiografi Sebelum Islam
Bangsa Arab sebelum islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadaban, bodoh, tidak, tidak mengenal aksara, sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorangpun dari penduduk jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahbat Nabi dietahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk islam. Baca tulis ketika waktu itu belum menjadi tradisi, tiak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian dan kecindikiaan.
Akan tetapi, bangsa Arab, terutama Arab bagian utara, dikenal  sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul diantaranya ditulis untuk digantung di ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara.
Orang Arab sebelum islam dan pada awal kebangkitab islam tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disiplinnya mereka dalam ingatan, bukan hanya karena mereka buta aksara tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mengingat lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulang-ulang. Demikian pula halnya dengan hadis-hadis Nabi.
Pada masa jahiliyah, belum dikenal apa yang dinamakan dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk kalangan penduduk negri yang dianggap sudah berperadaban, yang diduga bahwa mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya mempertahankan dan menulis tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai.
Sejarah Arab sebelum islam yang paling dapat dipercaya adalah tinggalan-tinggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di yaman, sebelah utara Hijaz dan sebelah selatan syiria. Satu-satunya yang dapat diketahui adalah penggalan-penggalan sejarah yang terdapat digereja-gereja di Hirah, yang kemudian dikaji oleh al-kalbi, sejarahwan muslim kemudian. Dengan demikian, data-data sejarah tentang masa islam, menurut Husein Nashhar, harus diterima dengan keraguan yang mendalam. Disamping itu pengetahuan orang Arab terhadap negeri-negeri tetangga, seperti persian dan romawi, juga merupakan  cerita-cerita yang bercampur legenda.
Namun, tidak ada jalan lain, untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pada masa orang Arab sebelum islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan, itulah yang disebut al-Ayyam (arti semantiknya adalah hari-hari penting) dan al-Ansab(artintya silsilah).

1.    Ayyam al-Arab
Kabilah-kabilah arab meriwayatkan al-Ayyam yang terdiri dari: perang-perang dan kemenangan-kemenangan, untuk tuuan membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain, baik dalam bentuk syair maupun prosa yang diselang-selingi syair. Syair itulah yang melestarikan perpindahan dan mendiseminasikan berita itu. Apabila syair itu terlupakan. Hal inilah yang memungkinkan sejarahwan masa islam mengetahui masa itu tentang arab. Meskipun tidak seluruhnya menggambarkan kenyataan, berita itu tentu bertolak dari realitas.
Ayyam al-Arab berasal dari bahasa arab yang berarti perang-perang antar kabilah arab. Dikalangan masyrakat arab pra islam (jahiliyyah) sering terjadi konflik antar kabilah karena perselisihan dalam mencapai kepemimpinan, perebutan sumber-sumber air dan padang rumput untuk pengembalaan ternak. Konflik itu sering kali menyebabkan peperangan yang menumpahkan darah. hari-hari peperangan dikenal dengan ayyam al-arab (secara etimologis berati hari-hari penting bahasa arab). Disebut “hari-hari penting bahasa arab” karena peperangan itu berlangsung disiang hari. Ketika malam tiba, peperangan dihentikan sampai fajar menyingsing.
2.    Al-Ansab
Bentuk tradisi Arab sebelum islam yang mengandung informasi sejarah islam lainnya adalah al-Ansab(Sisilah).
Al-Ansab adalah jamak dari nasab yang berarti silsialh(genealogy) sejak masa jahiliyyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan nasab.
Nasab itu juga dikaitkan dengan syair. Topik-topik utama syair-syair orang arab bahkan berkenaan  dengan masalah nasab ini, dan dengan syair-syair itu pula mereka membangga-banggakan nasab mereka masing-masing, yang berhubungan dengan masa kejayaan dan kehormatan. Nasab itu dibangga-banggakan terhadap kabilah-kabilah lain. Kehormatan suatu kabilah sangat tergantung pada prestasui-prestasi yang pernah dicapai oleh nenek moyang mereka.

Dalam tradisi keilmuan islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu-ilmu keagamaan
(ulum an-naqliyyah) karena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti diketahui, pada masa pra islam dan awal islam bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan. Hal ini bukan karena mereka tidak mengenal tulisan, tapi karena tradisi lisan (hafalan ) lebih dihargai dan diutamakan ketimbang tradisi tulisan tidak memberikan prestise apa-apa kepada pemiliknya ditengan masyarakat dibanding mereka yang terampil dalam tradisi lisan. Karena itu, sejarah awal bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai berbagi peristiwa dan peperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan. Kebiasaan ini di dukung pula oleh kondisi lingkungan mereka yang dominan gurun pasir, tanpa ikatan-ikatan individu maupun sosial.[6]




























BAB III
KESIMPULAN

Historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.
Dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah  dalam Islam: Al-Qur’an dan Ilmu Hadits.
Aliran-aliran historiografi masa awal Islam:
v  Aliran Yaman
Riwayat-riwayat tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Dia merupakan kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki tukang hikayat (narator) dan kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat-riwayat sejarah (novel sejarah). Oleh karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayat itu sebagai memiliki nilai historis.
v  Aliran Madinah
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat, keteladanan Rasulullah dan lain sebagainya.
v  Aliran Irak
Aliran ini lebih luas di bandingkan dengan dua lairan sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para khalifah.
Untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pada masa orang Arab sebelum islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan, itulah yang disebut al-Ayyam (arti semantiknya adalah hari-hari penting) dan al-Ansab(artinya silsilah).



[1] Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) cet.1,h, 5-6.
[3] Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997, cet.1,h, 1-3.

[4] Drs. A. Muin Umar, Pengantar Historiografi, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977 cet. 1 h. 9
[5] Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam,  (Jakarta: PT Logos  Wacana Ilmu), 1997 cet. 1. H 48-71.
[6] Dr. Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2004), hal 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar