BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji ( verifikasi ),
dan diinterpretasi. Sesuai dengan tugas penelitian sejarah untuk
merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi
eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis ( historiografi
).
Penulisan sejarah tidak semudah dalam penulisan ilmiah
lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan informasi dan argumentasi.
Penulisan sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika
dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilupakan bahwa ia adalah juga karya
sastera yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta nada
retorika tertentu.
Karya
penulisan penelitian sejarah dapat mengambil beberapa bentuk seperti paper,
artikel, ataubuku, bahkan dalam bentuk buku-buku
yang berjilid-jilid. Masing-masing bentuk memiliki
prinsip-prinsip yang berbeda, menuntut komposisi dan gaya bahasa, serta
jenis-jenis kerja yang berlainan pula. Dalam penulisan ini lebih
difokuskan pada prinsip-prinsip penulisan sejarah ilmiah pada umumnya.
Menulis
karya penelitian sejarah tidak cukup sekedar meringkaskan hasil-hasil
penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulannya tanpa memperhatikan gaya, strategi
bagaimana dapat menampilkan kemampuan penulisannya secara efektif, sehingga
pembaca dapat diyakinkan dan mau menerima hasil pemahamannya melalui
interpretasi mengenai peristiwa, periode, individu dan proses sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Historiografi
Secara semantic kata “Historiografi”
,merupakan gabungan dari dua kata, yaitu History yang berarti sejarah dan grafi
yang berarti deskripsi/penulisan. Historiogarfi berarti penulisan sejarah yang
di dahului oleh penelitian terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam[1].
Perkataan sejarah mempunyai dua arti
yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif,
adalah kejadian sejarah yang sebenarnya. Terjadi hanya sekali dan bersifat unik
(History of Actuality). Sejarah dalam arti subyektif ialah gambaran atau cerita
serta tulisan tentang suatu kejadian (History as Written atau Historiografi).
Dari sudut etimologis, semula berasal
dari bahasa Yunani: Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang
gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti
gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (description).
Dengan demikian secara harfiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian
atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam
perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para
sejarawan mengacu pada pengertian historia, sebagai suatu usaha mengenai
penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau.
Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa
historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi
merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan,
tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang
semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti
bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan
sejarah.[2]
Menurut Taufik Abdullah, ada 4 hal yang membatasi peristiwa masa lampau :
1.
Dimensi
waktu. Kesepakatan dalam ilmu sejarah menyatakan bahwa zaman sejarah bermula
ketika bukti-bukti tertulis telah, sedangkan yang sebelumnya disebut
“prasejarah”.
2.
Peristiwa.
Pemusatan peristiwa yang menyangkut manusia, atau tindakan dan prilaku manusia.
3.
Tempat.
Sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu
pada masa tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu.
4.
Seleksi.
Ketika kepingan-kepingan itu merupakan bagian dari proses atau dinamika yang
menjadi pusat perhatian sejarawan.
Penulisan sejarah adalah usaha
rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimana pun
baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian, karena tanpa penelitian
penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian.[3]
- Faktor-faktor Pendukung Perkembangan Penulisan Sejarah dalam Islam
Ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan
sejarah dalam Islam:
1.
Al-Qur’an,
kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah.
Al-Qur’an bahkan tidak hanya memerintahkan umatnya untuk memperhatikan
perkembangan sejarah manusia, tetapi al-Qur’an
juga menyajikan banyak kisah.
2.
Ilmu Hadits.
Ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an yang berkenaan muamalat
bersifat umum dan hanya dalam garis besarnya saja. Di awal masa perkembangan
Islam, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling tinggi pada waktu itu. dapat
dikatakan penulisan hadits merupakan perintis jalan menuju perkembangan ilmu
sejarah.
Disamping dua faktor pendukung utama
perkembangan penulisan sejarah Islam (al-Qur’an dan hadits) itu, menurut Husein
Nashshar, terdapat faktor-faktor yang mendorong kebangkitan gerakan sejarah dengan lebih
cepat lagi. Faktor-faktor itu adalah:
a.
Para khalifah
membutuhkan suatu pengetahuan yang dapat membimbing mereka dalam menjalankan
roda pemerintahan, sementara hal itu tidak mereka dapatkan dalam warisan budaya
mereka.
b.
Orang-orang
asing yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam membanggakan diri mereka
(merasa lebih super) terhadap orang-orang Arab dengan mengungkapkan sejarah dan
peradaban mereka di masa lalu.
c.
Sistem
pemerintahan.
d.
Penulisan
sejarah juga didorong oleh keadaan di masa dimulainya gerakan menulis ilmu-ilmu
yang lain yang sudah dikenal bangsa Arab ketika itu.
e.
Yang terakhir
sekali adalah bahwa apa yang sudah terdapat di dalam kebudayaan Arab sebelum Islam,
yaitu perhatian kepada “silsilah” dan “al-Ayyam”, semakin berkembang di masa
Islam.
- Aliran-aliran historiografi masa awal Islam
1. Aliran Yaman
Yaman adalah sebuah negeri yang terletak di bagian
selatan jazirah Arab, karena itu sering juga disebut sebagai Arab Selatan.
Berbeda dengan arab bagian utara, negeri Yaman pernah mengalami kemajuan
peradaban. Pada masa kebangkitan Islam
pertama, penduduk Yaman dapat diaktakan sebagai sedikit lebih berperadaban
daripada penduduk Arab Utara. Kalau penduduk Arab Utara ketika itu belum
memperhatikan pentingnya tulis menulis, maka penduduk Yaman sejak lama sudah
menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Mereka juga sudah mengenal
kalender sejak tahun 115 SM.
Kerajaan Yaman pada masa sebelum Islam memiliki
tingkat kebudayaan yang tinggi seperti apa yang ditunjukkan oleh
peninggalan-peninggalan kerajaan Minaea, Sabaea, dan Himyar. Pada mulanya
bahan-bahan ini berasal dari cerita mulut ke mulut yang menyebutkan nama
raja-raja ditambah dengan cerita-cerita dongeng yang masih kaku dan
cerita-cerita lain yang masih diragukan kebenarannya, seperti
peristiwa-peristiwa terakhir menjelang lahirnya agama Islam.[4]
Riwayat-riwayat tentang Yaman di masa silam
kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya adalah cerita-cerita khayal
dan dongeng-dongeng kesukuan. Dia merupakan kelanjutan dari corak sejarah
sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki tukang hikayat (narator) dan
kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat-riwayat sejarah (novel sejarah). Oleh
karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayat itu sebagai memiliki
nilai historis.
Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip
oleh sejarawan muslim berikutnya, yang terpenting diantara mereka adalah: Ka’b
al-Ahbar, Wahb ibn Munabbih, dan ‘Ubayd ibn Syariyah. Mereka bertiga ini
dipandang sebagai tokoh aliran Yaman.
2. Aliran Madinah
Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam bermula di
kota Madinah, kota ini merupakan negara Islam pertama sampai berdirinya Dinasti
Umawiyah yang menjadikan Damaskus, Syria, sebagai ibu kota negara Islam. Di
Madinah, kota hijrah, Nabi Muhammad saw menerima wahyu dan menjalankan pemerintahan
dan dakwahnya hingga beliau wafat. Di kota suci agama Islam kedua setelah
Mekkah ini berkumpul para sahabat besar, yang dipandang sebagai “gudang” ilmu
pengetahuan keagamaan Islam.
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali
berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin
pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, sunnah
Rasulullah, dan para sahabat, keteladanan Rasulullah dan lain sebagainya.
Perkembangan ilmu hadits itu, sebagaimana telah disebutkan,
dapat dikatakan sebagai cikal bakal penulis sejarah. Dari penulisan
hadits-hadits Nabi itu, para sejarawan segera memperluas cakupannya sehingga
membentuk satu tema sejarah tersendiri, yaitu al-Maghazi (perang-perang yang dipimpin rasulullah) dan al-Sirah al-Nabawiyah ( Riwayat Hidup
Nabi Muhammad saw).
Aliran sejarah yang muncul di Madinah ini kemudian
disebut dengan aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang
banyak memperhatikan al-maghazi (perang-perang yang dipimpin Rasulullah saw)
dan biografi Nabi (al-Sirah al-Nabawiyah) dan berjalan di atas pola ilmu
hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
Sejalan dengan riwayat pengembangannya, para
sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum islam
(fiqh). Mereka itu adalah: Abdullah ibn al –Abbas, Sa’id ibn al- Misayyab ,
Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah
al-Zhafari, Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri dan Musa
ibn ‘Uqbah.
Menurut ‘Abd al-Aziz al-Duri, perkembangan dan
orientasi aliran Madinah ini sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama
dalam bidang ilmu hukum (fiqih) dan hadits, yaitu ‘ Urwah ibn al- Zubayr dan
muridnya al-Zuhri.
3. Aliran Irak
Yang terakhir kali adalah aliran Irak (Kufah dan
Bashrah). Aliran ini lebih luas di bandingkan dengan dua lairan sebelumnya,
karena memperhatikan arus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan
sangat memperhatikan sejarah para khalifah. Dalam karya-karya sejarawan aliran
ini, sejarah Irak biasanya diuraikan lebih terperinci dan panjang, sedangkan
yang berkenan dengan kota-kota lain hanya sepintas saja.
Kelahiran aliran Irak ini tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan budaya dan peradaban adab. Perkembangan kebudayaaan bangsa
Arab itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial dan
budaya Islam yang tumbuh di kota-kota dan komunitas-komunitas baru.
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan
penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan
tradisi lisan. Pada awal abad kedua hijrah, mulai terlihat adanya perkembangan
penulisan sejarah karena banyaknya orang-orang yang ahli dalam bidang silsilah
kabilah –kabilah dan warisan mereka yang menulis buku-buku yang memuat nasab,
syair, kisah sebagian kabilah.
Para penguasa Bani Umayyah yang sangat berorientasi
kearaban itu sangat mendorong kenyataan baru yang merupakan fenomena
kebangkitan sastra dan pemikiran, khusunya yang berhubungan dengan syair-syair
jahiliyah dan adat istiadat Arab pra- Islam itu. Dengan dukungan dari para
penguasa itu, pada masa pemerintahan Malik bin Marwan, Kufah dan Basrah
berkembang menjadi kota-kota ilmu pengetahuan.
Para sejarawan aliran Irak ini, sebagaimana
sejarawan Madinah, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits.
Mereka tidak mungkin mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, karena
prakatik-praktik penulisan sejarah yang dilakukan saat itu telah berada di
bawah pengaruh ahli hadits. Namun, para sejarawan Irak ini menerapkan peraturan
isnad dengan cara yang liberal. Bahkan kadang-kadang tidak teliti. Ini
mengakibatkan kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang
dari peraturan periwayatan Hadits.
Di samping ‘Ubaidillah ibn Abi Rabi dan Zayd ibn
Abih, para sejarawan alirana Irak ini jumlahnya banyak, di antara yang terkenal
adalah: Abu Amr ibn al-‘Ala, Hammad al-Rawiyah, Abu Mikhnaf. Yang terpenting
diantara mereka adalah ‘Awanah ibn al-Hakam, Sayf ibn al-Asadi al- Tamimi dan
Abu Mikhnaf.[5]
- Historiografi Sebelum Islam
Bangsa Arab sebelum islam biasanya
disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadaban, bodoh, tidak, tidak
mengenal aksara, sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa
tidak seorangpun dari penduduk jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis,
karena beberapa orang sahbat Nabi dietahui sudah mampu membaca dan menulis
sebelum mereka masuk islam. Baca tulis ketika waktu itu belum menjadi tradisi,
tiak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian
dan kecindikiaan.
Akan tetapi, bangsa
Arab, terutama Arab bagian utara, dikenal
sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah
syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul diantaranya ditulis
untuk digantung di ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui
bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi
pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang
menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara.
Orang Arab sebelum islam dan pada
awal kebangkitab islam tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa
sejarah disiplinnya mereka dalam ingatan, bukan hanya karena mereka buta aksara
tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mengingat lebih
terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulang-ulang.
Demikian pula halnya dengan hadis-hadis Nabi.
Pada masa jahiliyah, belum dikenal
apa yang dinamakan dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk
kalangan penduduk negri yang dianggap sudah berperadaban, yang diduga bahwa
mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya mempertahankan dan menulis
tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai.
Sejarah Arab sebelum islam yang
paling dapat dipercaya adalah tinggalan-tinggalan arkeologis yang masih dapat
ditemukan di yaman, sebelah utara Hijaz dan sebelah selatan syiria.
Satu-satunya yang dapat diketahui adalah penggalan-penggalan sejarah yang
terdapat digereja-gereja di Hirah, yang kemudian dikaji oleh al-kalbi,
sejarahwan muslim kemudian. Dengan demikian, data-data sejarah tentang masa
islam, menurut Husein Nashhar, harus diterima dengan keraguan yang mendalam.
Disamping itu pengetahuan orang Arab terhadap negeri-negeri tetangga, seperti
persian dan romawi, juga merupakan
cerita-cerita yang bercampur legenda.
Namun, tidak ada jalan lain, untuk
mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah
Arab pada masa orang Arab sebelum islam memang telah mengenal tradisi yang
menyerupai bentuk sejarah lisan, itulah yang disebut al-Ayyam (arti semantiknya
adalah hari-hari penting) dan al-Ansab(artintya silsilah).
1.
Ayyam
al-Arab
Kabilah-kabilah arab meriwayatkan
al-Ayyam yang terdiri dari: perang-perang dan kemenangan-kemenangan, untuk
tuuan membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain, baik dalam bentuk
syair maupun prosa yang diselang-selingi syair. Syair itulah yang melestarikan
perpindahan dan mendiseminasikan berita itu. Apabila syair itu terlupakan. Hal
inilah yang memungkinkan sejarahwan masa islam mengetahui masa itu tentang
arab. Meskipun tidak seluruhnya menggambarkan kenyataan, berita itu tentu bertolak
dari realitas.
Ayyam al-Arab berasal dari bahasa
arab yang berarti perang-perang antar kabilah arab. Dikalangan masyrakat arab
pra islam (jahiliyyah) sering terjadi konflik antar kabilah karena perselisihan
dalam mencapai kepemimpinan, perebutan sumber-sumber air dan padang rumput
untuk pengembalaan ternak. Konflik itu sering kali menyebabkan peperangan yang
menumpahkan darah. hari-hari peperangan dikenal dengan ayyam al-arab (secara
etimologis berati hari-hari penting bahasa arab). Disebut “hari-hari penting
bahasa arab” karena peperangan itu berlangsung disiang hari. Ketika malam tiba,
peperangan dihentikan sampai fajar menyingsing.
2.
Al-Ansab
Bentuk tradisi Arab sebelum islam
yang mengandung informasi sejarah islam lainnya adalah al-Ansab(Sisilah).
Al-Ansab adalah jamak dari nasab yang berarti
silsialh(genealogy) sejak masa jahiliyyah orang-orang Arab sangat memperhatikan
dan memelihara pengetahuan nasab.
Nasab itu juga dikaitkan dengan
syair. Topik-topik utama syair-syair orang arab bahkan berkenaan dengan masalah nasab ini, dan dengan
syair-syair itu pula mereka membangga-banggakan nasab mereka masing-masing,
yang berhubungan dengan masa kejayaan dan kehormatan. Nasab itu
dibangga-banggakan terhadap kabilah-kabilah lain. Kehormatan suatu kabilah
sangat tergantung pada prestasui-prestasi yang pernah dicapai oleh nenek moyang
mereka.
Dalam tradisi keilmuan islam, ilmu
sejarah dianggap sebagai ilmu-ilmu keagamaan
(ulum an-naqliyyah) karena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti diketahui, pada masa pra islam dan awal islam bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan. Hal ini bukan karena mereka tidak mengenal tulisan, tapi karena tradisi lisan (hafalan ) lebih dihargai dan diutamakan ketimbang tradisi tulisan tidak memberikan prestise apa-apa kepada pemiliknya ditengan masyarakat dibanding mereka yang terampil dalam tradisi lisan. Karena itu, sejarah awal bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai berbagi peristiwa dan peperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan. Kebiasaan ini di dukung pula oleh kondisi lingkungan mereka yang dominan gurun pasir, tanpa ikatan-ikatan individu maupun sosial.[6]
(ulum an-naqliyyah) karena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti diketahui, pada masa pra islam dan awal islam bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan. Hal ini bukan karena mereka tidak mengenal tulisan, tapi karena tradisi lisan (hafalan ) lebih dihargai dan diutamakan ketimbang tradisi tulisan tidak memberikan prestise apa-apa kepada pemiliknya ditengan masyarakat dibanding mereka yang terampil dalam tradisi lisan. Karena itu, sejarah awal bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai berbagi peristiwa dan peperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan. Kebiasaan ini di dukung pula oleh kondisi lingkungan mereka yang dominan gurun pasir, tanpa ikatan-ikatan individu maupun sosial.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Historiografi
itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan
tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi
akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya
memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa
historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.
Dua faktor
pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah
dalam Islam: Al-Qur’an dan Ilmu Hadits.
Aliran-aliran historiografi masa awal Islam:
v Aliran Yaman
Riwayat-riwayat
tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya
adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Dia merupakan
kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki tukang
hikayat (narator) dan kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat-riwayat sejarah
(novel sejarah). Oleh karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayat
itu sebagai memiliki nilai historis.
v Aliran Madinah
Ilmu pengetahuan
keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui
ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam,
penafsiran al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat, keteladanan
Rasulullah dan lain sebagainya.
v Aliran Irak
Aliran ini lebih
luas di bandingkan dengan dua lairan sebelumnya, karena memperhatikan arus
sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus, dan sangat memperhatikan
sejarah para khalifah.
Untuk mengetahui
secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pada
masa orang Arab sebelum islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai
bentuk sejarah lisan, itulah yang disebut al-Ayyam (arti semantiknya adalah
hari-hari penting) dan al-Ansab(artinya silsilah).
[1] Drs. H. Badri Yatim, Historiografi Islam ( Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997) cet.1,h, 5-6.
[5] Drs.
H. Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu), 1997 cet. 1. H 48-71.
[6] Dr. Yusri
Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar