BAB I
PENDAHULUAN
Pemberlakuan
undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah
mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan
suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis.
Termasuk pula didalamnya , berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan
bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya
perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang
lebih bersifat desentralistik.[1] Dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang system
pendiidkan Nasional, namun pelaksanaan pendidikan agama didaerah masih saja
mendapatkan perlakuan yang dikriminatif dari pemerintah daerah. Pendidikan dan
agama pada Undang-Undang tersebut banyak memunculkan penafsiran secara parsial
bahwa yang menjadi kewewenangan pemeritah daerah adalah pendidikan yang berada
dibawah naungan Departemen Agama yang berbentuk Madrasah dan sekolah agama
lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan. Maka dari itu
pendidikan pada UU No.22 tahun 1999
tentang Otonomi Daerah secara ekplisit pelaksaannnya tidak lagi menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Dengan kata lain implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah baik dalam konteks bimbingan dalam konteks subsidi pendanaan
biaya pendidikan [2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Madrasah pada Era Otonomi Daerah
Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan antara keuangan pusat dan daerah.
Bagaimana
kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, ada beberapa pendapat tentang
ini.
1.
Madrasah
tetap di bawah naungan Departemen Agama. Semangat ini didasari atas idealisasi
yang tinggi. Selain dari itu bahwa Departemen Agama adalah Departemen yang
tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah didalamnya pendidikan agama.
2.
Madrasah
di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah. Argumennya
adalah karena masalah pendidikan telah diotonomkan, maka dikhawatirkan
pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding
dengan sekolah akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya
berada dalam lingkungan Dinas Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah agar
memperoleh fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang
diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah.
3.
Adanya
pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Pemerintah Daerah,
teknis-teknis ini akan diatur sendiri.[3]
Indonesia setelah era reformasi merealisasikan
kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia untuk adanya Otonomi daerah.
Berkenaan dengan itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerinahan Daerah
dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah
dan diiringi pula pada PP No. 25 tahun 2000 tenang kewewenangan Pemerintah dan
Kewewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mengantur Desenralisasi Pendidikan,
dimana pengaturan mengenai pendidikan oleh pemerintah pusat hanya berfokus
dianataranya :
1.
Peneapan standar maeri pelajaran pokok
2.
Penetapan sandar kompetensi siswa dan warga
belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaiaan hasil belajar secara
nasional pedoman pelaksanaannya.
3.
Peneapan persyaratan prolehan dan
penggunaan gelar akademik
4.
Penetapan persyaratan , penerimaan,,
perpindahan, sertifikasi siswa dan mahasiswa[4]
B.
Pemberdayaan Madrasah
Madrasah
biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu kelompok masyarakat,
atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya sangat
ditentukan oleh sejauh mana pihak
penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut, serta
melipat gandakan kekuatan-kekuatan yang sudah ada di madrasah.
Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian
bantuan yang tidak tepat sasaran selama ini, justru sangat merugikan
perkembangan madrasah. Oleh karena itu pola bantuan yang mulai diterap;kan
sejak tahun 1997 / 1998, lebih diarahkan kepada tumbuhnya upaya strategis yang
mendorong seluruh jajaran Pembina dan penyelenggara madrasah, agar meningkatkan
kemampuannyaadapun dalam mengali potensi
dan kekurangan yang ada pada madarasah. [5]
Arah
baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dari sentralistik ke
desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah kebijakan bottom up. Orientasi
pengembangan parsial pendidikan ke orientasi pengembangan holostik, pendidikan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya. Peranan
pemerintah sangat dominan untuk meningkatkan peran masyarakat secara kualitatif
dan kuantitatif. Lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi
masyarakat, keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.
Bertolak dari arah baru ini maka
pemberdayaan madrasah dilaksanakan lewat :
1)
Pemberdayaan
manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, kepala
sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap
memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2)
Orientasi Pembinaan kepada Peningkatan Mutu
Pendidikan.
3)
Pemberdayaan melalui bantuan Pembinaan
secara terpadu.[6]
4)
Pemberdayaan masyarakat, melibatkan
unsure-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, dengan
cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akunabilitas.
C. Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pembinaan pendidikan yang dilakukan oleh Departemen
Agama selama ini masih perlu langkah-langkah penyesuaiaan yang strategis,
utamanya dalam rangka mencari dan
Desbentuk dan pemecahan maslah sehubungan dengan kemungkinann di berlakukannya
Otonomi Daerah dan Desentralisasi di bidang pendidikan secara ketseluruhan.
Dalam pengembangan demokrasi dan menegakkan hak asasi
serta membina bangsa Indonesia pada kehidupan yang lebih maju dan bermartabat,
salah satu keputusan dan kemauan ini telah dituangkan dalam UU No.. 22 dan
No.25 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah dan tentang pertimbangan Pusat
dan Daerah.
Secara Populer Desenralisasi diarikan sebagi pemberian
kewewenangan, umumnya dari pemilik wewenang (atasan) pada pelaksanaan
(penguasaan dibawahny). Pengmbilan keputusan dimaksudkan mempunyai arti :
1. Menetapkan perturan (pelaksanaan) berkaitan sesuai adaptif pada
wilayahnya.
2. Melaksanakan dalam kewewenangan dan tanggung jawabnya.
Adapun pengertian otonomi secara umum mengandung
pengretian sendirinya. Ada juga memberi arti kemnadirian. Kemandirian ini
adalah konteks bebas dalam wujud memilih, yang disertai dengan kemampuan.
Kemampuan memilih secara esensial mencakup :
1. Kemampuan memilih membuat keputusan terbaik, tepat dan berguna untuk
diri, kelompoknya ( daerah)
2. Kemampuan memilih mengakui / menghargai pendapat yang lain ( berlainan
dari pendapatnya).
3. Kemampuan memilih sesuatu yang melengkapi (memenuhi) kebutuhan daerahnya
4. Kemampuan memilih mengatasi dan
untuk menyesuaikan diri.
5. Kemampuan memilih pelaksaaan yang tepat ( pertama dan priorias ) bagi
daerahnya.
Dengan demikian pelaksanaan Desentralisasi dan
Otonom daerah menggambarkan hal-hal sebagai berikut :’
1. Keputusan politik ditentukan oleh rakyat melalui DPRD
2. Kekuasaan di tangan Kepala Daerah Tingkat II
3. Daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengurus kepeningan Masyarakat.
4. Mengatur kebijakan wilayah bersama DPR tingkat II
5. Meliputi aspek ekonomi, politik dan social budaya serta semua sector
pembangunan.
6. Kewewenangan sumber daya
ditentukan oleh daerah berimbang
7. Otonomi daerah dalam rangka ikatan NKRI
8. Ketergantungan Pusat dan Daerah secara politis semakin kecil
9. SD/MI-SLTP/MTS-SMU/MA pengelolaannya dilakukan dalam satu atap,
mengikuti madrasah adalah pendidikan umum, sedangkan pendidikan keagamaan
seperi Pesantren, Diniyah, dan Majelis Ta’lim tetap menjadi kewewenangan pusat.
Visi dan Misi keagamaan harus tetap member nuansa dalam pembinaan yang
dilakukan.[7]
D. Kebijakan Pembinaan Madrasah
Reposisi terhadap madrasah sebagaimana dijelaskan
sekaligus merespon dan mengantisipasi adanya perubahan system pemerintah RI
dari sentralisasi kepada otonomi, dekonsentrasi, desentralisasi. Rasionalisasi
pemikiran tentang madrasah ini berkaitan lansung dengan system pemerintah
kedepan sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 perlu
ditetapkan kebijakan bahwa:
1. Penyelenggarahan madarasah tetap dilakukan masyarakat, beberapa hal
mengenai penyelengarahan menjadi tanggung jawab pemerinahan daerah, terutama
pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pembelajaran yang
bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman tetap dikelola oleh
Departemen Agama.
2. Pengelolaan dan penyelengaraan madrasah dilkukan oleh pemerintah Daerah
dalam satu atap pengelolaannya, yaitu dengan membentuk Dinas Pendidikan dan
kebudayaan sedangkan Depertemen Agama kabupaten / kota berfungsi sebagai tugas
pengendalian dan tugas-tugas agama.
Melalui perubahan ini maka madrasah berada pada arena
persaingan yang berorienasi kepada kualitas produknya. Berdasarkan kalkulasi
social budaya masyarakat Indonesia, madrasah seperti diatas akan lebih mudah
dierima dan mendapat dukungan dari masyarakatnya.disisi lain, segala dinamika
yang terjadi dalam umat islam akan dengan mudah diserap oleh madrsah terutama
dinamika dibidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat control langsung
dari masyarakat pendukungnya.delam hal demikian madrasah keagamaan pada tingkat
menengah(madrasah Diniyyah Aliyah) tetap ditempatkan sebagai tanggung jawab
Departemen Agama.
Sebagai institisi pendidikan, yang bernafaskan agama,
maka madrasah harus bergerak dalam mekanisme organisasi yang profesinal, dalam
formulasi pengorganisasian dan penyelenggaraan sebagai berikut:
a. Pengoganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan
pengaturan seluruh komponen pendidikan yang memungkinkan tercapainya tujuan
institusional, secara bertahap dilimpakan kepada pihak madrsah (school Based management) dan
didukung oleh masyarakat(community based education), sehingga madrasah tidak
terisolasi dari komunitasnya.
b. Organisasi pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepda
erciptanya hubungan imbal balikantara madrasah dan masyarakat dalam rangka
memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.
c. Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat fleksibel
sesuai dengan tuntutan kebutuhan madrasah.
d. Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan propesional yang
memungkinkan tumbuhdan berkembangnya segenap potensi madrasah, sehingga mampu
mengimplementasikan prinsip-prinsip school Based management yang secara
historis telah ada pada kultur madrasah.
e. Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelolah di beri
kesempatan untuk menumbuh kembangkan nilai-nilai demokratis dan hak asasi
manusia(HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.
f. Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya kerja sama
dengan unsure dan unit kerja laindalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
g. Pengeloaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang mencakup
keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
ketebukaan.
h. Pengawasan atau control pengorganisasian dan pengelolaan madrasah
dilakukan oleh suatu badan atau dewan sekolah yangmemiliki kompetensi sebagai
pendamping pengelolah madrasah.\
i.
Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan
hokum bagi mereka yang melanggar atau menyimpang dari prosedur dan etika
pengelolah dan pengorganisasian madrasah.
j.
Diperlukan adanya upaya bersama untuk
mengembalikan image madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan
khas Agama Islam.[8]
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
kedudukan
madrasah di era otonomi daerah, yaitu
-
Madrasah
tetap di bawah naungan Departemen Agama.
-
Madrasah
di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah.
-
Adanya
pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Pemerintah Daerah,
teknis-teknis ini akan diatur sendiri.
Pemberdayaan Madrasah
biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu kelompok masyarakat,
atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya sangat
ditentukan oleh sejauh mana pihak
penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
M. Chan, Sam dan Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet.3. 2007.
Suwito, dkk. Sejarah Sosial Pedidikan Islam. Jakarta: Kencana.
2008.
Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2007.
Rahmi, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: PT. Logos Wacan Ilmu. Cet. 1. 2005
Rachman Shaleh, Abdul. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006.
[1]
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007),
Cet. Ke-3, Hal.1 – 2.
[2]
Suwito, dkk, Sejarah Sosial
Pedidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 298.
[3]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), Hal.60-61.
[4]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam,…hal. 60.
[5]
Husni Rahmi, Madrasah dalam
Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : PT. Logos Wacan Ilmu 2005),
Cet. Ke- 1, hal. 114.
[6]
Husni Rahmi, Madrasah dalam
Politik Pendidikan di Indonesia,…Hal.115.
[7] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi
dan Aksi, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Cet. Ke-2, hal.
131-135.
[8]
Abdul Rachman Shalihm, Madrasah dan pendidikan Anak
Bangsa, Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,2006.hal.148-152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar