Kamis, 09 Agustus 2012

Madrasah pada Era Otonomi Daerah


BAB I
PENDAHULUAN
Pemberlakuan undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya , berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.[1] Dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendiidkan Nasional, namun pelaksanaan pendidikan agama didaerah masih saja mendapatkan perlakuan yang dikriminatif dari pemerintah daerah. Pendidikan dan agama pada Undang-Undang tersebut banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewewenangan pemeritah daerah adalah pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Agama yang berbentuk Madrasah dan sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan. Maka dari itu pendidikan pada UU No.22  tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara ekplisit pelaksaannnya tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik dalam konteks bimbingan dalam konteks subsidi pendanaan biaya pendidikan [2]





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Madrasah pada Era Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan antara keuangan pusat dan daerah.
Bagaimana kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, ada beberapa pendapat tentang ini.
1.      Madrasah tetap di bawah naungan Departemen Agama. Semangat ini didasari atas idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Departemen Agama adalah Departemen yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah didalamnya pendidikan agama.
2.      Madrasah di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah. Argumennya adalah karena masalah pendidikan telah diotonomkan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan Dinas Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah agar memperoleh fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah.
3.      Adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Pemerintah Daerah, teknis-teknis ini akan diatur sendiri.[3]
Indonesia setelah era reformasi merealisasikan kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia untuk adanya Otonomi daerah. Berkenaan dengan itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerinahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah dan diiringi pula pada PP No. 25 tahun 2000 tenang kewewenangan Pemerintah dan Kewewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mengantur Desenralisasi Pendidikan, dimana pengaturan mengenai pendidikan oleh pemerintah pusat hanya berfokus dianataranya :
1.        Peneapan standar maeri pelajaran pokok
2.        Penetapan sandar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaiaan hasil belajar secara nasional pedoman pelaksanaannya.
3.        Peneapan persyaratan prolehan dan penggunaan gelar akademik
4.        Penetapan persyaratan , penerimaan,, perpindahan, sertifikasi siswa dan mahasiswa[4]

B.     Pemberdayaan Madrasah
Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh sejauh mana  pihak penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut, serta melipat gandakan kekuatan-kekuatan yang sudah ada di madrasah.
Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran selama ini, justru sangat merugikan perkembangan madrasah. Oleh karena itu pola bantuan yang mulai diterap;kan sejak tahun 1997 / 1998, lebih diarahkan kepada tumbuhnya upaya strategis yang mendorong seluruh jajaran Pembina dan penyelenggara madrasah, agar meningkatkan kemampuannyaadapun  dalam mengali potensi dan kekurangan yang ada pada madarasah. [5]
 Arah baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dari sentralistik ke desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah kebijakan bottom up. Orientasi pengembangan parsial pendidikan ke orientasi pengembangan holostik, pendidikan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya. Peranan pemerintah sangat dominan untuk meningkatkan peran masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif. Lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.
Bertolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan lewat :
1)      Pemberdayaan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2)      Orientasi Pembinaan kepada Peningkatan Mutu Pendidikan.
3)      Pemberdayaan melalui bantuan Pembinaan secara terpadu.[6]
4)      Pemberdayaan masyarakat, melibatkan unsure-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akunabilitas.

C.    Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pembinaan pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini masih perlu langkah-langkah penyesuaiaan yang strategis, utamanya dalam rangka mencari  dan Desbentuk dan pemecahan maslah sehubungan dengan kemungkinann di berlakukannya Otonomi Daerah dan Desentralisasi di bidang pendidikan secara ketseluruhan.
Dalam pengembangan demokrasi dan menegakkan hak asasi serta membina bangsa Indonesia pada kehidupan yang lebih maju dan bermartabat, salah satu keputusan dan kemauan ini telah dituangkan dalam UU No.. 22 dan No.25 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah dan tentang pertimbangan Pusat dan Daerah.
Secara Populer Desenralisasi diarikan sebagi pemberian kewewenangan, umumnya dari pemilik wewenang (atasan) pada pelaksanaan (penguasaan dibawahny). Pengmbilan keputusan dimaksudkan mempunyai arti :
1.      Menetapkan perturan (pelaksanaan) berkaitan sesuai adaptif pada wilayahnya.
2.      Melaksanakan dalam kewewenangan dan tanggung jawabnya.
Adapun pengertian otonomi secara umum mengandung pengretian sendirinya. Ada juga memberi arti kemnadirian. Kemandirian ini adalah konteks bebas dalam wujud memilih, yang disertai dengan kemampuan. Kemampuan memilih secara esensial mencakup :
1.      Kemampuan memilih membuat keputusan terbaik, tepat dan berguna untuk diri, kelompoknya ( daerah)
2.      Kemampuan memilih mengakui / menghargai pendapat yang lain ( berlainan dari pendapatnya).
3.      Kemampuan memilih sesuatu yang melengkapi (memenuhi) kebutuhan daerahnya
4.      Kemampuan memilih  mengatasi dan untuk menyesuaikan diri.
5.      Kemampuan memilih pelaksaaan yang tepat ( pertama dan priorias ) bagi daerahnya.
Dengan demikian pelaksanaan Desentralisasi dan Otonom  daerah menggambarkan  hal-hal sebagai berikut :’
1.      Keputusan politik ditentukan oleh rakyat melalui DPRD
2.      Kekuasaan di tangan Kepala Daerah Tingkat II
3.      Daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengurus kepeningan Masyarakat.
4.      Mengatur kebijakan wilayah bersama DPR tingkat II
5.      Meliputi aspek ekonomi, politik dan social budaya serta semua sector pembangunan.
6.      Kewewenangan  sumber daya ditentukan oleh daerah berimbang
7.      Otonomi daerah dalam rangka ikatan NKRI
8.      Ketergantungan Pusat dan Daerah secara politis semakin kecil
9.      SD/MI-SLTP/MTS-SMU/MA pengelolaannya dilakukan dalam satu atap, mengikuti madrasah adalah pendidikan umum, sedangkan pendidikan keagamaan seperi Pesantren, Diniyah, dan Majelis Ta’lim tetap menjadi kewewenangan pusat. Visi dan Misi keagamaan harus tetap member nuansa dalam pembinaan yang dilakukan.[7]

D.    Kebijakan Pembinaan Madrasah
Reposisi terhadap madrasah sebagaimana dijelaskan sekaligus merespon dan mengantisipasi adanya perubahan system pemerintah RI dari sentralisasi kepada otonomi, dekonsentrasi, desentralisasi. Rasionalisasi pemikiran tentang madrasah ini berkaitan lansung dengan system pemerintah kedepan sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 perlu ditetapkan kebijakan bahwa:
1.      Penyelenggarahan madarasah tetap dilakukan masyarakat, beberapa hal mengenai penyelengarahan menjadi tanggung jawab pemerinahan daerah, terutama pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman tetap dikelola oleh Departemen Agama.
2.      Pengelolaan dan penyelengaraan madrasah dilkukan oleh pemerintah Daerah dalam satu atap pengelolaannya, yaitu dengan membentuk Dinas Pendidikan dan kebudayaan sedangkan Depertemen Agama kabupaten / kota berfungsi sebagai tugas pengendalian dan tugas-tugas agama.
Melalui perubahan ini maka madrasah berada pada arena persaingan yang berorienasi kepada kualitas produknya. Berdasarkan kalkulasi social budaya masyarakat Indonesia, madrasah seperti diatas akan lebih mudah dierima dan mendapat dukungan dari masyarakatnya.disisi lain, segala dinamika yang terjadi dalam umat islam akan dengan mudah diserap oleh madrsah terutama dinamika dibidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat control langsung dari masyarakat pendukungnya.delam hal demikian madrasah keagamaan pada tingkat menengah(madrasah Diniyyah Aliyah) tetap ditempatkan sebagai tanggung jawab Departemen Agama.
Sebagai institisi pendidikan, yang bernafaskan agama, maka madrasah harus bergerak dalam mekanisme organisasi yang profesinal, dalam formulasi pengorganisasian dan penyelenggaraan sebagai berikut:
a.       Pengoganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan pengaturan seluruh komponen pendidikan yang memungkinkan tercapainya tujuan institusional, secara bertahap dilimpakan kepada  pihak madrsah (school Based management) dan didukung oleh masyarakat(community based education), sehingga madrasah tidak terisolasi dari komunitasnya.
b.      Organisasi pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepda erciptanya hubungan imbal balikantara madrasah dan masyarakat dalam rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.
c.       Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan kebutuhan madrasah.
d.      Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan propesional yang memungkinkan tumbuhdan berkembangnya segenap potensi madrasah, sehingga mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip school Based management yang secara historis telah ada pada kultur madrasah.
e.       Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelolah di beri kesempatan untuk menumbuh kembangkan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia(HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.
f.       Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya kerja sama dengan unsure dan unit kerja laindalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.
g.      Pengeloaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang mencakup keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan ketebukaan.
h.      Pengawasan atau control pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dilakukan oleh suatu badan atau dewan sekolah yangmemiliki kompetensi sebagai pendamping pengelolah madrasah.\
i.        Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan hokum bagi mereka yang melanggar atau menyimpang dari prosedur dan etika pengelolah dan pengorganisasian madrasah.
j.        Diperlukan adanya upaya bersama untuk mengembalikan image madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan khas Agama Islam.[8]





BAB III
PENUTUP
a.      Kesimpulan
kedudukan madrasah di era otonomi daerah, yaitu
-          Madrasah tetap di bawah naungan Departemen Agama.
-          Madrasah di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah.
-          Adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Pemerintah Daerah, teknis-teknis ini akan diatur sendiri.
Pemberdayaan Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh sejauh mana  pihak penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
M. Chan, Sam dan Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet.3. 2007.

Suwito, dkk. Sejarah Sosial Pedidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.

Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2007.

Rahmi, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Logos Wacan Ilmu. Cet. 1. 2005

Rachman Shaleh, Abdul. Madrasah dan Pendidikan  Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006.








[1] Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-3, Hal.1 – 2.
[2] Suwito, dkk, Sejarah Sosial Pedidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 298.
[3] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), Hal.60-61.
[4] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam,…hal. 60.
[5] Husni Rahmi, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : PT. Logos Wacan Ilmu 2005), Cet. Ke- 1, hal. 114. 
[6] Husni Rahmi, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia,…Hal.115.
[7] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan  Anak Bangsa : Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Cet. Ke-2, hal. 131-135.
[8] Abdul Rachman Shalihm, Madrasah dan pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,2006.hal.148-152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar