Kamis, 09 Agustus 2012

Tasawuf HAMKA


BAB I
PENDAHULUAN
BUYA Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini.
Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka.
Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. ”Di Bawah Lindungan Ka`bah”, ”Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, ”Falsafah Hidup”, ”Islam dan Demokrasi”, ”Keadilan Sosial dalam Islam”, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka.









BAB II
PEMBAHASAN
HAMKA: TASAWUF MODERN
A.    NASAB DAN KELAHIRAN
Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (16 Februari 1908 - 24 Juli 1981 M). Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau merupakan tempat di mana dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain. Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furû’ maupun ushûl.[1]
 Kakek Hamka sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Kerapkali masyarakat setempat mencari berkah melalui sisa makanan, sisa minuman atau sisa air wudhu dan sebagainya. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin. Akan tetapi ayah Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah (lahir 17 Shafar 1296 H/16 Februari 1879) yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, memiliki pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah dilakukan dan di da’wahkan ayah dan kakeknya. Ia terkenal sebagai tokoh pembaharu (al-tajdîd). Dalam kondisi dan situasi yang penuh dengan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua itulah Hamka dilahirkan dan melihat sendiri sepak terjang yang dilakukan ayahnya. Situasi itu agaknya memiliki persamaan sabagaimana yang pernah terjadi di akhir tahun 1910 di kota Surabaya antara kaum muda dan kaum tua (Kaum tua dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah dan kaum muda dikomandoi oleh Kiai Haji Mas Mansyur, Ahmad Syurkati, dan Fakih Hasjim). Pada kenyataannya, Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji Rasul keras, sementar Hamka lebih santun.[2]
B.     PENDIDIKAN DAN KARYA TULIS
Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan langsung ayahnya. Ia mulai mempelajari Al Qur’an dari orang tuanya hingga usia enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang di tahun 1948. Setahun kemudian di usia Hamka yang ke tujuh tahun sang ayah memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa itu ia hanya menjalaninya selama tiga tahun. Akan tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan pendidikan di sekolah sekitarnya (sekolah-sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek dekat Bukit `Tinggi) kira-kira tiga tahun lamanya pula.
Para sejarawan mengenal Hamka dengan semangat otodidaknya yang gigih. Ia belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmu-ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik baik yang datang dari Islam maupun Barat ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya. Ketika Hamka berusia 16 tahun, pencarian ilmunya dilanjutkan dengan hijrah ke tanah Jawa pada tahun 1924. Di Jawa ia berinteraksi dengan beberapa tokoh Pergerakan Islam modern seperti H. Oemar Said, Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), R.M Soerejo, Pranoto (1871-1959), dan KH Fakhrudin (ayah dari KH Abdur Razzaq). Kota Yogjakarta terlihat memiliki arti penting dalam proses perkembangan pribadi dan pemikiran Hamka. Kota itu telah memberikan kesadaran baru dalam beragama yang selama ini difahami olehnya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di kota inilah ia menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.” Di Yogjakarta, Hamka lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berbeda dengan pendidikan semasa masih di kampung halaman yang lebih berorientasikan pada pembersihan akidah dari syirik, bid’ah dan khurafat di mana penampilan perjuangan itu sudah terlihat semenjak munculnya Perang Paderi sampai kemasa tiga serangkai; Haji Abdullah Ahmad, Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek. Ditahun-tahun berikutnya, Hamka kemudian mulai banyak berkiprah dan mengabdikan diri kepada umat, baik melalui gerakan Muhammadiyah maupun pada lembaga lainnya.[3]
Karya-karya HAMKA
Hamka tidak hanya memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah.
1)      Khatibul Ummah, Jilid 1-3 ditulis dalam huruf Arab.
2)      Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
3)      Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq), 1929.
4)      Sejarah Ummat Islam jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
5)      Tasawuf Modern, Penerbit Yayasan Nurul Islm, Jakarta, cet. Ke-6 1981.
6)      Falsafah Hidup, penerbit: Djaja Murni, Jakarta, cet ketujuh, 1970. Dll.[4]
C.    GAGASAN DAN PEMBAHARUAN
Khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia (1947). Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan (1959) dan dengan dibubarkannya Masyumi pula (1960) ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta. Merasakan hidup di Penjara pada rezim Soekarno, atas tuduhan (fitnah) makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan. Bersamanya pula Mr. Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Yusuf Wibisono. Hamka sendiri baru dibebaskan pada 23 Mei 1966. Sebelumnya telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai pemberontak PRRI.[5]
Hamka terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan Orde Baru, yang kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli”.[6]
Dalam pandangan Hamka, di tanah air ini masih banyak ulama yang lebih tinggi ilmunya, lebih khusyuk ibadahnya, tapi mereka ini tak masuk dalam kepengurusan MUI. “Berpuluh bahkan beratus agaknya yang benar-benar ulama yang tidak mau tertonjol atau menonjolkan diri, dan tidak hadir dalam majelis ini, dan bahkan bersyukur karena mereka tidak mendapat panggilan buat hadir. Orang-orang seperti itu jarang tampil dan menonjol. Sebab ingin uzlah dari pergaulan yang penuh fitnah ini”.[7]
Dibidang pendidikan, bagi Hamka, pendidikan adalah sarana untuk mendidik watak pribadi. Kelahiran manusia didunia ini tidak hanya untuk mengenal apa yang dimaksud dengan baik dan buruk, tapi juga, selain beribadah kepada Allah, juga berguna bagi sesama dan alam lingkungannya. Dan dalam pandangan Hamka, pendidikan di sekolah tak bisa dilepas dari pendidikan di rumah. Karena, menurutnya, mesti ada komunikasi antara sekolah dengan rumah, antara orang tua murid dengan guru. Secara konvensional, antara orang tua murid dengan guru saling bersilaturrahmi, sekaligus mendiskusikan tentang perkembangan anak didiknya.[8]
Hamka dan Arti Tasawuf
Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf , maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam.
Dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji.” Dalam bukunya yang lain Tasawuf Modern, tasawuf adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang terlebih dari keperluan untuk keperluan diri”. Sedangkan dalam buku Tasawuf dari Abad ke Abad, Hamka mendefinisikan tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari pengaruh benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan”.
Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas dapatlah kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, di mana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam. Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika menafsirkan QS. Asy-Syams: 9-10 dalam Tafsir al Azhar: 9-10,“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Menurutnya, penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justeru akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.
Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam. Dirinya sangat menekankan keharusan setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik.
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri ini , pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di syari’atkan oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di jaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Dalam bukunya yang lain Dari Perbendaharaan Lama, Hamka juga menyebutkan keadaan ilmu tasawuf yang diterima oleh sebagian besar muslim di negeri ini telah mendapat percampuran dengan hikayat, dongeng-dongeng, serta pemahaman dan keyakinan-keyakinan lain, terutama dari agama nenek moyangnya yaitu Hindu.
Dalam proses menuju ma’rifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku tasawuf (kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal itu, maka Hamka menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi konsep sebagai pencapaian kearah itu di antaranya takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli, yaitu sebuah usaha pembebasan diri dari sifat-sifat tercela, sementara tahalli, sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji, dan tajalli merupakan penghayatan rasa ketuhanan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di mata, tapi terasa di hati, bahwa Dia ada”.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata ‘modern’ sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Oleh karenanya, Muhammad Damimi dalam bukunya Tasawuf Positif mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf modernnya, bahwa istilah ‘tasawuf modern’ merupakan lawan terhadap istilah ‘tasawuf tradisional’. Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhûd yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya.
Keberadaan tasawuf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau menurut bahasa Hamka, i’tidal. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan, “Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu”.  Hamka menambahkan, ”Adapun jalan tasawuf ialah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riyâdhah al-nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang”. Maka menurutnya kehidupan bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya, hingga melemahan gerak manusia. Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi.[9]
D.    PERKEMBANGAN GAGASAN
Dalam bidang pembaharuan, sesungguhnya boleh dibilang hamka tidak memajukan gagasan-gagasan yang bersifat khas. Kecuali itu, hamka terkenal seorang yang sangat menentang semangat dan dominasi adat terhadap ajaran agama, khususnya di daerah minangkabau yang struktur dan pola-pola hubungan kekeluargaannya bersifat matrialkal, pola hubungan yang berdaarkan garis keibuan.
Adapun dalam bidang pendidikan, sebagai orang yang pernah memperoleh anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar pada 1955, hamka bercita-cita sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah ceramahnya membangun Al Azhar kedua di Indonesia setelah Mesir. Sampai taraf tertentu, agaknya kini cita-cita hamka sudah mulai terwujud dalam bentuk lembaga pendidikan Al Azhar (di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan).[10]
E.     ANALISIS
Taswuf adalah salah satu filsafat islam yang bertujuan zuhud dari dunia yang fana, tatapi lantaran banyak bercampur dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain kedalamnya.
Menurut Hamka, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpeleset kedalam lumpur keburukan budi dan kekotoran batin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti teladan hidup yang di contohkan langsung oleh Rasulluah lewat as sunnah yan shahih.
Fungsi tasawuf menurut Hamka, yakni tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, yang juga dilaksanakan lewat peribadahan agama yang didasari i’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral keagamaan (moral religius) yang efektif.

F.     PENUTUP
Islam merupakan jalan kebahagiaan yang hakiki. Meski banyak rumusan-rumusan tentang kebahagiaan datang, namun Islamlah satu-satunya jalan itu. Agama yang akan dijadikan sandaran dan kerangka hidup bukanlah agama Islam yang saat ini dipahami telah terpecah belah menjadi memiliki sekte-sektenya masing-masing, dan dengan praktik ibadah yang mereka buat serta mereka yakini masing-masing untuk diamalkan, sehingga sesungguhnya mereka sendiri telah jauh dari sumber utama (al Qur’an dan Sunnah). Oleh karenanya, Hamka menginginkan agar agama Islam yang menjadi kerangka dalam hidup itu adalah agama Islam yang murni, dan terbebas dari praktek syirik, bid’ah dan khurafât.
Konsep-konsep tasawuf yang di terangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan ruh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit kebid’ahan, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.


[1] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981).
[2] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang), 1979. H. 15-27
[3] Imam Taufik Al Khotob, HAMKA DAN PEMIKIRAN TASAWUFNYA , Jurnal Dakwah, Kamis, Juni 11, 2009. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc. Di akses tanggal 16 Mei 2011.
[4] Hamka, Di Maata Hati Umat, (Jakarta: PT. Sinar Agape Press), 1983. H. 140-141
[5] Imam Taufik Al Khotob, HAMKA DAN PEMIKIRAN TASAWUFNYA , Jurnal Dakwah, Kamis, Juni 11, 2009. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc. Di akses tanggal 16 Mei 2011.
[6] Imam Taufik Al Khotob, HAMKA DAN PEMIKIRAN TASAWUFNYA , Jurnal Dakwah, Kamis, Juni 11, 2009. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc. Di akses tanggal 16 Mei 2011.
[7] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani), 2006, h. 65
[8] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani), 2006, h. 64
[9] Imam Taufik Al Khotob, HAMKA DAN PEMIKIRAN TASAWUFNYA , Jurnal Dakwah, Kamis, Juni 11, 2009. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc. Di akses tanggal 16 Mei 2011.
[10] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 1992. H. 295

Tidak ada komentar:

Posting Komentar