BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran fiqh mazhab Syafi’i diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di
zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada
teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau
ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik
sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam
Abu Hanifah.
Imam Syafi'i
kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada
di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari
Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun
demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang
Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam
Syafi'i sebagai ulama fiqh,
ushul fiqh,
dan hadits di
zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui
oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
dan Latar Belakang Pendidikannya
Imam Syafi’i dilahirkan di Gazah pada
bulan Rajab tahun 150 H (767 M). Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat
imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama
lengkap imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’i
ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf ibn
Qushay al-Quraisyiy.
Ketika ayah dan ibu Imam Sya’fii pergi
ke Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’i di Gazah atau Asqalan. Ketika
ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’i kecil
dibawa ibunya ke Mekkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir.
Dalam asuhan ibunya ia dibekali
pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-qur’an. Ia
mempelajari al-Qur’an pada Ismail ibn Qastantin, seorang qari’ kota Mekkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi’i pernah
khatam al-qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
Sebelum menekuni fiqih dan hadits, imam
Syafi’I tertarik pada puisi, sya’ir dan sajak bahasa Arab. Ia belajar hadits
dari imam Malik di Madinah.dalam usia 13 tahun ia telah mampu menghafal
al-Muwatha.[2]
Beliau belajar fiqih pada Muslim ibn
Khalid dan mempelajari hadits pada Sofyan ibn Uyainah guru hadits di Mekkah dan
pada Maliki ibn Anas di Madinah. Pada mulanya pengikut Maliki, akan tetapi
setelah beliau banyak melawat ke berbagai kota dan memperoleh pengalaman baru,
beliau mempunyai aliran tersendiri yaitu mazhab “qadimnya” sewaktu beliau di
Irak, dan mazhab “jadidnya” sewaktu beliau sudah di Mesir.
Kemudian setelah beliau berumur 15
tahun, oleh para gurunya beliau diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa
kepada khalayak ramai. Beliau pun tidak keberatan menduduki jabatan guru besar
dan mufti di dalam mesjid al-Haram di Mekkah dan sejak saat itulah beliau terus
memberi fatwa.[3]
B. Kitab-kitab
Karangan Imam Syafi’i
Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab
Ahkam al-qur’an bahwa karya Imam
Syafi’I cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab.
Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’I
menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.
Kitab-kitab karya Imam Syafi’I dibagi
oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:
1.
Kitab
yang ditulis oleh Imam Syafi’I sendiri. Seperti al-Umm dan al-Risalah.
2.
Kitab
yang ditulis oleh murid-muridnya. Seperti Mukhtasar oleh al-Muzany dan
Mukhtasar oleh al-Buwaithy.
Kitab-kitab Imam Syafi’I, baik yang
ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya,
antara lain sebagai berikut:
a)
Al-Risalah
b)
Al-Umm
c)
Al-Musnad
d)
Al-Imla
e)
Al-Amaliy
f)
Harmalah
g)
Mukhtasar
al-Muzany
h)
Mukhtasar
al-Buwaithiy
i)
Ikhtilaf
al-Hadits
Kitab-kitab Imam Syafi’I dikutip
dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Mekkah, Irak, Mesir dan
lain-lain.[4]
C. Dasar-dasar
Hukum Yang Dipakai Oleh Imam Syafi’i
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai
oleh Imam Syafi’I sebagai acuan pendapatnya, termaktub dalam kitabnya
ar-Risalah yaitu sebagai berikut:
1.
Al-qur’an.
Beliau mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan
yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2.
As-Sunnah.
Beliau dalam mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi
yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil asal telah
mencukupi syarat-syaratnya. Yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan,
kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3.
Ijmak.
Dalm arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya. Imam Syafi’I masih
mendahulukan hadits ahad daripada ijmak yang bersendikan ijtihad, kecuali kalau
ada keterangan bahwa ijmak itu bersendikan naqal dan diriwayatkan dari orang
ramai hingga sampai kepada Rasulullah SAW.
4.
Qiyas.
Imam Syafi’I memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak
tercantum, juga dalam keadaan terpaksa. Hukum qiyas yang terpaksa diadakan itu
hanya mengenai keduniaan atau muamalah saja, karena segala sesuatu yang
bertalian dengan urusan ibadah telah cukup sempurna dari Al-qur’an dan
As-sunnah.
5.
Istidlal
(istishab). Imam syafi’I memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas
kaidah-kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh
al-qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran
manusia.
D. Qaul
Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi’I adalah pakar yurispundensi
islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap
terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menentukan hukum, sehingga tidak
segan-segan untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk
menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubahnya keadaan yang dihadapi.
Karena pendirian beliau yang demikian
itu, maka munculah apa yang disebut Qaul Qadim sebagai hasil ijtihadnya yang
pertama dan Qaul Jadid sebagai pengubah keputusan hukum yang pertama.
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan,
yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam
kitabnya yang bernama Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul Jadidnya
terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Qaul Qadim Imam Syafi’i merupakan
perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl hadits yang
bersifat tradisional. Qaul
Jadid Imam Syafi’i dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan
mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan
kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil
ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak.[5]
Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i
itu terungkap dalam beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:
1.
Air yang kena najis
Qaul
Qadim: Air yang sedikit dan kurang
dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak
dikategorikan air mutanajjis, selama air itu tidak berubah.
Qaul
Jadid: Air yang sedikit dan kurang
dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak
dikategorikan air mutanajjis, apakah air itu berubah atau tidak.
2.
Bersambung (muwaalah) dalam berwudhu
Qaul
Qadim: Bersambung (muwaalah) dalam
berwudu hukumnya wajib karena beralasan, bahwa huruf wau dalam ayat:
(QS.Al-Maaidah:6).
Huruf
wau dalam ayat tersebut menunjukkan harus berurutan dan beriringan satu
sama lainnya sampai selesai.
Qaul
Jadid: Bersambung dalam berwudhu itu
hukumnya sunat karena berdasarkan riwayat, bahwa Rasulullah SAW. Pernah berwudu
dan menunda membasuh kaki beliau.
3.
Berbicara ketika khutbah sedang berlangsung
Qaul
Qadim: haram hukunya berbicara ketika
khutbah sedang berlangsung, karena ayat-ayat yang dibacakan oleh khatib, harus
didengar dengan sungguh-sungguh.
Qaul
Jadid: berbicara hukumnya tidak
haram, karena mendengarkan khutbah itu hukumnya sunnat. Alasannya adalah, bahwa
pada suatu ketika Umar bin Khattab berkhutbah dan beliau menegur Usman bin
Affan yang terlambat datang ke Masjid.
4.
Bilangan shalat jum’at
Qaul
Qadim: Salat Jumat itu dianggap sah,
apabila dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang jama’ah.
Qaul
Jadid: Salat Jumat baru dianggap sah
apabila jama’ahnya sudah mencapai empat puluh orang. Sebagai alasan adalah,
bahwa Rasulullah pernah shalat di Madinah dengan empat puluh orang jamaah.
5.
Hukum mendatangkan saksi sewaktu rujuk.
Qaul
Qadim: Harus ada saksi sewaktu suami
ingin rujuk kepada istrinya, sesuai dengan firman Allah: (QS. Ath-Thalaq: 2)
Qaul
Jadid: Tidak wajib mendatangkan
saksi, karena rujuk itu adalah hak suami, sesuai dengan firman Allah: (QS.
Al-Baqarah: 228).
Perubahan penetapan hukum yang beliau lakukan itu, karena
dua sebab:
a)
Beliau menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat
sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir,
b)
Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi.[6]
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul
jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan
terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul
jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat
beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan
keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.[7]
E.
Pendirian Imam Syafi’i tentang Bid’ah
Karena Imam Syafi’i terkenal sebagai pembela sunnah dan
termasuk seorang ahli hadits, maka sudah tentu beliau sangat keras terhadap
perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah. Pendiriannya tentang bid’ah adalah sebagai
berikut: Bid’ah itu ada dua macam yaitu Bid’ah terpuji dan Bid’ah tercela.
Bid’ah yang baik menurutnya yaitu barang yang
diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikitpun dari al-Qur’an, Sunnah, Ijmak (kesepakatan para
Sahabat Nabi), dan Atsar (keterangan para sahabat Nabi). Sedangkan Bidah yang
tercelaadalah semua perbuatan yang diada-adakan dengan menyalahi semua hukum
yang disebutkan itu.
Terhadap ahli bid’ah ini Imam Syafi’i pernah berkata:
“Barang siapa yang menganggap baik terhadap suatu perbuatan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi dan tidak pula diperintahkan beliau, maka berarti ia
telah membuat syara’ (perbuatan agama sendiri).
من استحسن فقد شرع
F.
Nasihat Imam Syafi’i Tentang Taqlid
Terhadap masalah taqlid ini beliau seringkali memberi
peringatan dan pimpinan kepada para sahabat dan muridnya, yaitu mereka itu
jangan hendaknya mengikuti saja dalam masalah agama kepada perkataan beliau
yang tidak disertai keteangan atau alasan terang dari al-Quran dan Sunnah.
Di antara nasihat beliau tentang taqlid ini beliau pernah
berkata kepada Imam ar-Rabi’: “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid
kepadaku, dalam tiap-tiap yang aku katakan, dan pikirkanlah benar-benar bagi
dirimu sendiri karena sesungguhnya ia adalah urusan agama”.
Pada suatu hari beliau berkata: “Apabila engkau
mendapatkan Sunnah Rasulullah, maka hendaklah engkau mengikuti Sunnah itu dan
janganlah engkau berpaling kepada perkataan seseorang”.
Dari pernyataan di atas kiranya cukup jelas bahwa Imam
Syafi’i sungguh-sungguh melarang taqlid kepada beliau dan kepada ulama lain
dalam urusan hukum-hukum agama, dan beliau berpesan agar semua orang mengikuti
kepemimpinan Nabi.[8]
G.
Penyebarluasan Mazhab Syafi’i
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab
Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki,
yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan.
Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang
menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
- Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
- Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
- Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad
bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri
fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i[4].
Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut
menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama
metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang
tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i
menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang
paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini
berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam
yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya
tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali
ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di
antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan
mazhab-mazhab Sunni
di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti
oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah
pengikut setelah Mazhab Hanafi.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dasar hukum yang dipakai
oleh Imam Syafi’I sebagai acuan pendapatnya, termaktub dalam kitabnya ar-Risalah
yaitu Al-qur’an, As-Sunnah, Ijmak, Qiyas, Istidlal.
Imam
Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah, yang dicetuskan di
Irak. Qaul Jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Umm, yang
dicetuskan di Mesir.
Qaul
Qadim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional
dan fiqh ahl hadits yang bersifat tradisional. Qaul Jadid Imam Syafi’i
dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan
hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu
itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya
di Irak.
Pendiriannya tentang bid’ah adalah sebagai berikut:
Bid’ah itu ada dua macam yaitu Bid’ah terpuji dan Bid’ah tercela. Imam Syafi’i
sungguh-sungguh melarang taqlid kepada beliau dan kepada ulama lain dalam
urusan hukum-hukum agama, dan beliau berpesan agar semua orang mengikuti
kepemimpinan Nabi.
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
[2] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h.120-122
[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 4, h.204-205
[7]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
[9]
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar