Kamis, 09 Agustus 2012

Mazhab Syafi'i

BAB I
PENDAHULUAN

Pemikiran fiqh mazhab Syafi’i diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah.
 Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.[1]









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi dan Latar Belakang Pendidikannya
Imam Syafi’i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M). Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’i ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy.
Ketika ayah dan ibu Imam Sya’fii pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’i di Gazah atau Asqalan. Ketika ayahnya meninggal, ia masih kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Syafi’i kecil dibawa ibunya ke Mekkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir.
Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah dapat menghafal al-qur’an. Ia mempelajari al-Qur’an pada Ismail ibn Qastantin, seorang qari’ kota Mekkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi’i pernah khatam al-qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
Sebelum menekuni fiqih dan hadits, imam Syafi’I tertarik pada puisi, sya’ir dan sajak bahasa Arab. Ia belajar hadits dari imam Malik di Madinah.dalam usia 13 tahun ia telah mampu menghafal al-Muwatha.[2]  
Beliau belajar fiqih pada Muslim ibn Khalid dan mempelajari hadits pada Sofyan ibn Uyainah guru hadits di Mekkah dan pada Maliki ibn Anas di Madinah. Pada mulanya pengikut Maliki, akan tetapi setelah beliau banyak melawat ke berbagai kota dan memperoleh pengalaman baru, beliau mempunyai aliran tersendiri yaitu mazhab “qadimnya” sewaktu beliau di Irak, dan mazhab “jadidnya” sewaktu beliau sudah di Mesir.
Kemudian setelah beliau berumur 15 tahun, oleh para gurunya beliau diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai. Beliau pun tidak keberatan menduduki jabatan guru besar dan mufti di dalam mesjid al-Haram di Mekkah dan sejak saat itulah beliau terus memberi fatwa.[3]

B.     Kitab-kitab Karangan Imam Syafi’i
Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-qur’an bahwa karya Imam Syafi’I cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’I menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.
Kitab-kitab karya Imam Syafi’I dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:
1.      Kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’I sendiri. Seperti al-Umm dan al-Risalah.
2.      Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya. Seperti Mukhtasar oleh al-Muzany dan Mukhtasar oleh al-Buwaithy.
Kitab-kitab Imam Syafi’I, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:
a)      Al-Risalah
b)      Al-Umm
c)      Al-Musnad
d)     Al-Imla
e)      Al-Amaliy
f)       Harmalah
g)      Mukhtasar al-Muzany
h)      Mukhtasar al-Buwaithiy
i)        Ikhtilaf al-Hadits
Kitab-kitab Imam Syafi’I dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Mekkah, Irak, Mesir dan lain-lain.[4]
C.    Dasar-dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Imam Syafi’i
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I sebagai acuan pendapatnya, termaktub dalam kitabnya ar-Risalah yaitu sebagai berikut:
1.      Al-qur’an. Beliau mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2.      As-Sunnah. Beliau dalam mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil asal telah mencukupi syarat-syaratnya. Yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3.      Ijmak. Dalm arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya. Imam Syafi’I masih mendahulukan hadits ahad daripada ijmak yang bersendikan ijtihad, kecuali kalau ada keterangan bahwa ijmak itu bersendikan naqal dan diriwayatkan dari orang ramai hingga sampai kepada Rasulullah SAW.
4.      Qiyas. Imam Syafi’I memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan terpaksa. Hukum qiyas yang terpaksa diadakan itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah saja, karena segala sesuatu yang bertalian dengan urusan ibadah telah cukup sempurna dari Al-qur’an dan As-sunnah.
5.      Istidlal (istishab). Imam syafi’I memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah-kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh al-qur’an. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia.


D.    Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi’I adalah pakar yurispundensi islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menentukan hukum, sehingga tidak segan-segan untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubahnya keadaan yang dihadapi.
Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka munculah apa yang disebut Qaul Qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan Qaul Jadid sebagai pengubah keputusan hukum yang pertama.
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul Jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Qaul Qadim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl hadits yang bersifat tradisional. Qaul Jadid Imam Syafi’i dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak.[5]
Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i itu terungkap dalam beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:
1.      Air yang kena najis
Qaul Qadim: Air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis, selama air itu tidak berubah.
Qaul Jadid: Air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis, apakah air itu berubah atau tidak.
2.      Bersambung (muwaalah) dalam berwudhu
Qaul Qadim: Bersambung (muwaalah) dalam berwudu hukumnya wajib karena beralasan, bahwa huruf wau dalam ayat: (QS.Al-Maaidah:6).
Huruf wau dalam ayat tersebut menunjukkan harus berurutan dan beriringan satu sama lainnya sampai selesai.
Qaul Jadid: Bersambung dalam berwudhu itu hukumnya sunat karena berdasarkan riwayat, bahwa Rasulullah SAW. Pernah berwudu dan menunda membasuh kaki beliau.
3.      Berbicara ketika khutbah sedang berlangsung
Qaul Qadim: haram hukunya berbicara ketika khutbah sedang berlangsung, karena ayat-ayat yang dibacakan oleh khatib, harus didengar dengan sungguh-sungguh.
Qaul Jadid: berbicara hukumnya tidak haram, karena mendengarkan khutbah itu hukumnya sunnat. Alasannya adalah, bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab berkhutbah dan beliau menegur Usman bin Affan yang terlambat datang ke Masjid.
4.      Bilangan shalat jum’at
Qaul Qadim: Salat Jumat itu dianggap sah, apabila dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang jama’ah.
Qaul Jadid: Salat Jumat baru dianggap sah apabila jama’ahnya sudah mencapai empat puluh orang. Sebagai alasan adalah, bahwa Rasulullah pernah shalat di Madinah dengan empat puluh orang jamaah.
5.      Hukum mendatangkan saksi sewaktu rujuk.
Qaul Qadim: Harus ada saksi sewaktu suami ingin rujuk kepada istrinya, sesuai dengan firman Allah: (QS. Ath-Thalaq: 2)
Qaul Jadid: Tidak wajib mendatangkan saksi, karena rujuk itu adalah hak suami, sesuai dengan firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 228).
Perubahan penetapan hukum yang beliau lakukan itu, karena dua sebab:
a)      Beliau menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir,
b)      Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi.[6]
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.[7]
E.     Pendirian Imam Syafi’i tentang Bid’ah
Karena Imam Syafi’i terkenal sebagai pembela sunnah dan termasuk seorang ahli hadits, maka sudah tentu beliau sangat keras terhadap perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah. Pendiriannya tentang bid’ah adalah sebagai berikut: Bid’ah itu ada dua macam yaitu Bid’ah terpuji dan Bid’ah tercela.
Bid’ah yang baik menurutnya yaitu barang yang diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikitpun dari  al-Qur’an, Sunnah, Ijmak (kesepakatan para Sahabat Nabi), dan Atsar (keterangan para sahabat Nabi). Sedangkan Bidah yang tercelaadalah semua perbuatan yang diada-adakan dengan menyalahi semua hukum yang disebutkan itu.
Terhadap ahli bid’ah ini Imam Syafi’i pernah berkata: “Barang siapa yang menganggap baik terhadap suatu perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan tidak pula diperintahkan beliau, maka berarti ia telah membuat syara’ (perbuatan agama sendiri).
 من استحسن فقد شرع
F.     Nasihat Imam Syafi’i Tentang Taqlid
Terhadap masalah taqlid ini beliau seringkali memberi peringatan dan pimpinan kepada para sahabat dan muridnya, yaitu mereka itu jangan hendaknya mengikuti saja dalam masalah agama kepada perkataan beliau yang tidak disertai keteangan atau alasan terang dari al-Quran dan Sunnah.
Di antara nasihat beliau tentang taqlid ini beliau pernah berkata kepada Imam ar-Rabi’: “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid kepadaku, dalam tiap-tiap yang aku katakan, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena sesungguhnya ia adalah urusan agama”.
Pada suatu hari beliau berkata: “Apabila engkau mendapatkan Sunnah Rasulullah, maka hendaklah engkau mengikuti Sunnah itu dan janganlah engkau berpaling kepada perkataan seseorang”.
Dari pernyataan di atas kiranya cukup jelas bahwa Imam Syafi’i sungguh-sungguh melarang taqlid kepada beliau dan kepada ulama lain dalam urusan hukum-hukum agama, dan beliau berpesan agar semua orang mengikuti kepemimpinan Nabi.[8]
G.    Penyebarluasan Mazhab Syafi’i
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
  • Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
  • Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
  • Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i[4]. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.[9]



















BAB III
KESIMPULAN
Dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I sebagai acuan pendapatnya, termaktub dalam kitabnya ar-Risalah yaitu Al-qur’an, As-Sunnah, Ijmak, Qiyas, Istidlal.
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul Jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Qaul Qadim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl hadits yang bersifat tradisional. Qaul Jadid Imam Syafi’i dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak.
Pendiriannya tentang bid’ah adalah sebagai berikut: Bid’ah itu ada dua macam yaitu Bid’ah terpuji dan Bid’ah tercela. Imam Syafi’i sungguh-sungguh melarang taqlid kepada beliau dan kepada ulama lain dalam urusan hukum-hukum agama, dan beliau berpesan agar semua orang mengikuti kepemimpinan Nabi.




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h.120-122
[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 4, h.204-205
[4] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h.133-135
[5] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h.124-126
[6] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 4, h.213-221
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
[8] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 4, h.208-211
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar