Kamis, 09 Agustus 2012

Ikhwan al-Shafa


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah hadis: (لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ).
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
 Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
IKHWAN AL SHAFA’
  1. Latar belakang dan keanggotaan
ikhwan al shafa’ persaudaraan suci adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah isma ‘iliyah yang lahir pada abad ke 4h 10m di basrah. Kerahasiaan kelompok ini,yang juga menamakan dirinya khulan al wafa’ , ahl al adl, dan abna ‘al hamd, boleh jadi karena tendensis politis, dan baru terungkap setelah berkuasanya dinasti buwaihi di bagdad pada tahun 983m. ada kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham  taqiyah, karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga, kerahasiaan ini karena mereka mendukung faham mu’tazilah yang telah di hapuskan oleh khalifah Abbasiyah, Al Mutawwakil, sebagai mahzab Negara. Menurut fanna al fakhuri, nama ikhwan al shafa’ di ekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kaliilah wa dunnah yang diterjemahkan ibn muqaffa’.
Pelopor perhimpunan politiko religius ini yang terkenal, antara lain ahmad ibn Abdullah, abu sulaiman Muhammad ibn nashr al busti, yang populer dengan al muqaddasi, zaid ibn rifa’ah, abu al hasan ali ibn harun al zanjani, abu ahmad al nahrajuri alias mihrajani, al ‘aufi, dan zaid ibn rifa’ah. Menurut al sijistani, orang orang ini merupakan kelompok sarjana yang menyelenggarakan pertemuan dan menyusun risalah risalah ikhwan al shafa’, rangkaian kata yang sebenarnya diciptakan oleh al muqaddasi
Dalam upaya memperluas gerakan, ikhwan al shafa’ mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat kepada keilmuan dan kesabaran, terutama dari orang  orang muda yang masih segar dan cukup berhasrat agar mudah di bentuk. Walaupun demikian militansi anggota dan kerahasiaan organisasi tetap mereka jaga. Calon-calon perhimpunan anggota ini di tuntut keras untuk berpegang teguh satu sama lain dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, untuk membantu dan manopang satu sama lain dalam perkara perkara duniawi dan rohani, dan untuk menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena itu, ada empat tingkatan anggota, yaitu;  
Tingkat I, terdiri dari pemuda cekatan berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II, adalah al-Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu mememlihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-Ilahi sebagai tingkat para Nabi.
Tingkat IV, adalah tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat, dan wahyu.
B.     Karya Ikhwan Al-Shafa’
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Rifa’ah –ketua—secara sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan telah menghasilkan 52 risalah –jumlah rasail tersebut adalah 50 risalah dengan satu ringkasan dan satu lagi ringkasan dari ringkasan--, kemudian mereka menamakan karya tersebut dengan Rasail Ikhwan al-Shafa’. Rasail ini merupakan ensiklopedi populer tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditilik dari segi isi, rasail tersebut dapat diklasifikan kepada empat bidang, yaitu:
a.       14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, teori dan praktek seni, moral dan logika.
b.      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi geneologi, minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c.       10 risalah tentang ilmu jiwa, meliputi metafisika mazhab Pytagoreanisme dan kebangkitan alam.
d.      11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa’, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic, dan jimat.


C.    Filsafat Ikhwan Al-Shafa’
1.      Talfiq
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya adalah filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan syari’at Arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan.
Tampaknya Ikhwan al-Shafa’ menempatkan filsafat di atas agama. Mereka mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-Qur’an yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan bersahaja. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai ta’wil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan inderawi. Untuk itulah Ikhwan berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan satu tingkatan kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada –tingkat yang cocok bagi orang-orang pilihan dan tingkat yang cocok bagi orang kebanyakan—yaitu tingkatan kepercayaan yang cocok bagi keduanya (orang-orang pilihan dan awam), yang berakar pada akal, ditopang oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran (Rasail III, 452-3).
Sebenarnya pendapat mereka untuk mempergunakan ta’wil dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabihat merupakan pendapat yang sama di kalangan para filsuf. Menurut filsuf, agama adalah tepat melambangkan secara inderawi (mtsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak karena  mereka tidak memahami isinya. Sebaliknya, kaum filsuf harus mengambil makna metaforis terhadap teks al-Qur’an  yang bernada antropomorphisme. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti ini, para filsuf menempatkan Nabi sebagai pendusta untuk kepentingan manusia (al-kidzb li mashlahah al-nas).[2]
Disamping itu ikhwan al-Shaffa juga memadukan agama-agama yang berkembang pada waktu itu dengan berdasarkan filsafat, seperti Islam, Kristen, majusi, yahudi, dan lain-lain. Karena menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kecuali itu, menurut ikhwan perbedaan-perbedaan keagamaan bersumber dari factor-faktor yang kebetulan, sepeti ras, tempat tinggal, atau keadaan zaman, dan dalam beberapa kasus juga factor temperamen dan susunan personal. Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan menjadi pegangan dalam Negara yang mereka impikan, dan hal ini merupakan tujuan utama mereka yang kedua untuk menggantikan Daulah Abbasiyah yang berada pada kerusakan (al-fasad) yang harus diganti dengan negara baru. Demikian juga pendudukanya telah menjadi ahl al-syar (jelek). Negara baru yang mereka idamkan, bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan jiwa yang satu dalam segala pengaturan, sedangkan penduduknya adalah ahl  al-khair (baik) yang terdiri dari kaum ulama, filsuf, dan oang-orang pilihan, dimana mereka semua sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu dan agama yang satu pula.

  1. Metafisika
Adapun tentang ketuhanan, ikhwan al safa’ melandasi pemikirannya kepada bilangan, menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakapkan tentang tauhid, al tanzih, dan meniadakan sifat dan Tasybih, serta dapat menilak sikap orang yang mengingkari keesaan tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keeasaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka permulaan dan ia lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa yang esa  (tuhan) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya  angka satu dari angka lain.
Ikhwan al-shafa’ juga melakukan al-tanzih , meniadakan sifat dan tasybih kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan member bentuk, tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya Kun fa kana. Maka adalah segala yang dikehendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Tuhan tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.
Tentang ilmu Tuhan, ikhwan al-shafa’ beranggapan bahwa seluruh pengetahuan  (al-ma’lumat) berada dalam ilmu tuhan sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam angka satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilngan yang satu yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada.

3.      Jiwa
Tentang jiwa manusia, bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut  akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dari sini meningkat kepada daya berpikir (al-quwwah al-mufakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (al-quwwah al-hafizhah) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ii seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.[3]
Manusia selain mempunyai indera zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.[4]

4.      Moral
Adapun tentang moral, ikhwan al-shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu tindakan harus melapaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, dan kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebajikan. Gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yang membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam, binatang liar sekalipun. Jiwa yang dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi  dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan rasional dalam filsafat.[5]

5.      Bilangan
Menurut mereka, angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala wujud dan permulaan yang absolut. Huruf hijaiyah yang 28 merupakan hasil perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung nilai kesucian, sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu dialam ini, seperti empat penjuru angin, empat musim, empat unsur dan lainnya. Alasan untuk ini adalah bahwa Tuhan menginginkan empat macam entitas ilmiah tersebut dapat memantulkan atau mencontohkan entitas-entitas adikodrati, yang sama-sama merupakan satu kelompok dari empat entitas: Tuhan, Akal Universal, Jiwa Universal dan Materi Prima.[6]

D.    Tokoh-Tokoh Ikhwan Al-Shafa’
Pelopor perhimpunan politika – religius ini yang terkenal, antara lain Ahmad Ibn Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad Ibn Nashr al-Busti, yang populer dengan al-Muqaddasi, Zaid Ibn Rifa’ah, Abu al-Hasan Ali Ibn Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri (Mihrajani), Al-Aufi, dan Zaid Ibn Rifa’ah. Menurut al-Sijistani, orang-orang ini merupakan kelompok sarjana yang menyelenggarakn pertemuan dan menyusun risalah-risalah Ikhwan al-Shafa, rangkaian kata yang sebenarnya diciptakan oleh al-Muqaddasi.[7]

BAB III
KESIMPULAN



[1] http://mirarami.wordpress.com/2009/11/03/ikhwan-al-shafa-sejarah-dan-pemikirannya/
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 1999. Hal. 44-47
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 1999. Hal. 47-52
[4] http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/
[5] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 1999. Hal. 52-53
[6] http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/
[7] http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/ikhwan-al-shafa.html

1 komentar:

  1. Pin on Stainless Steel Chino - Titanium T-Shirt - Tioga
    T-Shirts. Tioga T-Shirts. T-Shirts. Chino. where is titanium found T-Shirt. T-Shirt. T-Shirts. thaitanium T-Shirts. 2017 ford fusion energi titanium Chino. T-Shirts. titanium exhaust Chino. T-Shirts. T-Shirts. snow peak titanium flask

    BalasHapus