Kamis, 09 Agustus 2012

Kisah Nabi Syu'aib dalam Al-Qur'an

NABI SYU’AIB A.S

A.    Kisah Nabi Syu’aib A.S dalam Al-Qur’an
1.      QS. Al-A’raf ayat 85-93

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada Illah bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah dating kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu betul-betul orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakuti-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlahmu. Dan perhatikan bagaimana  kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika segolongan dari kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah hingga Allah menetapkan hukumannya diantara kita. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya. Para pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusirmu, hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami.” Syu’aib berkata: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya? Sungguh kamu mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah Rabb kami menghendaki(nya). Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal. Ya Rabb kami, berilah keputusan kami dan kaum kami dengan haq (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu jika kamu berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi.” Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka. Yaitu orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Su’aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (QS. Al-A’raf: 85-93)

2.      QS. Hud ayat 84-95

“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." Dan Syuaib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu." Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." Syuaib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Lut tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. Mereka berkata: "Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami. Syuaib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan." Dan (dia berkata): "Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu." Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Mad-yan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.” (QS. Hud: 84-95)

1.      QS. Asy-Syu’ara ayat 176-191

“Penduduk Aikah teah mendustakan para Rasul, ketika Su’aib berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tiada lain dari Rabb semesta alam. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan jaganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan jangnlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakanmu dan umat-umat yang dahulu.” Mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang trkena sihir, dan kamu tidak lain melainkan manusia seperti kami, dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang yang berdusta. Maka jatuhkanlah kepada kami gumpalan dari langit, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Syu’aib berkata: “Rabbku lebih mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa adzab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya adzab itu adalah adzab hari yang besar. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungghunya Rabbmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’ara: 176-191)

2.      QS. Al-Ankabut ayat 36-37

 “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan, saudara mereka Syuaib, maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan". Maka mereka mendustakan Syuaib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (QS. Al-Ankabut: 36-37)

B.     Kaum Nabi Syu’aib
Kaum Nabi Syu’aib adalah penduduk Madyan, mereka itulah suatu kaum yang tinggal di kota Madyan yang berbatasan dengan negeri Syam (Syria).[1]
Madyan adalah pengambilan dari nama putera Nabi Ibrahim a.s. kemudian diproklamirkan sebagai nama suku atau kabilah yang didominir oleh anak-cucu Madyan itu. sekarang tepatnya terletak di pinggir pantai Laut Merah di sebelah Tenggara Gunung  Sinai.
Pada umumnya kaum Nabi Syu’aib a.s. ini menyembah patung-patung, memuja kuburan-kuburan leluhur mereka secara keterlaluan dan suka kepada bentuk-bentuk kejahatan yang tak kalah buasnya, mereka tak ubah seperti binatang. Mereka menganggap suatu kejahatan merupakan hal yang  biasa. Kejahatan  terkenal yang  mereka lakukan sehari-harinya ialah mengurangi timbangan dan merampas hak-hak orang lain demi kepuasan dan kepentingan pribadi tanpa mengindahkan kerugian yang diderita orang lain.
Dalam keadaan yang sangat kritis semacam itu, Allah mengirim seorang utusan untuk memperbaiki sikap-sikap dan pola kehidupan yang bersifat binatang itu, itulah anak Ibrahim a.s. yang alim dan pemberani. Beliau terjun langsung di tengah-tengah kehidupan yang serba liar dengan gagah berani yang disertai dengan kecermatan dan keuletan dalam menghadapi setiap persoalan yang harus diselesaikan. Beliau memegang peranan sebagai penuntun ummat ke jalan  yang diridhai Allah, orangnya ramah tamah, sabar dan berkemauan keras, berpikir cerdas, cermat dan sangat taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inti tujuan kerasulannya, ialah mengarahkan dan menghadapkan kaumnya untuk berbakti kepada Allah. Nabi Syu’aib senantiasa memberi peringatan kepada kaumnya agar berlaku jujur dan berbakti kepada Allah melalui norma-norma yang telah ditentukan oleh Allah swt. Tuhan satu-satunya yang wajib disembah.
Di dalam Al-Qur’an telah difirmankan: artinya: “dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiadda Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kuranngi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
Jadi sebenarnya penduduk Madyan itu tergolong manusia yang mempunyai kemajuan pesat, kemajuan ekonomi begitu lancar dan tinggi peradabannya. Mereka banyak terdiri dari orang-orang kaya raya, hanya saja kekayaan dan kemajuan lainnya itu memakai cara yang keliru, mereka menghalalkan segala cara asal menguntungkan diri mereka.[2]
Kala itu penduduk Madyan terdiri dari orang-orang yang suka merampok, mengintimidasi pejalan yang lewat, serta menyembah Aikah, yakni sebuah pohon rindang yang dikelilingi oleh semak belukar. Mereka terkenal sangat keji dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka suka mengurangi takaran dan timbangan, mereka juga selalu mengambil lebih dari harta milik orang lain, akan tetapi giliran mereka hendak menyerahkan sesuatu, mereka menguranginya.[3]
Kaum Madyan juga telah menghina dan meremehkan Nabi Syu’aib, menurut mereka ritual peribadahan (shalat) yang diajarkan Syu’aib telah membuatnya gila dan shalat juga lah yang telah mendorongnya untuk memerintahkan kepada mereka agar meninggalkan apa yang selama ini disembah oleh nenek moyang mereka. Kala itu, nenek moyang mereka menyembah pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, namun ritual peribadahan (shalat) yang diajarkan Syu’aib kini memerintahkan kepada mereka agar menyembah Allah Yang Maha Esa, akan tetapi mereka tidak menerimanya.
Kaum Madyan berkata: “Hai Syu’aib, sesungguhnya shalatmu telah mencampuri urusan kami dan cara kami dalam memanfaatkan harta kami. Apa hubungan antara keimanan, shalat dan transaksi jual beli?”
Mereka mendustakan ajakan Syu’aib karena mereka tidak menginginkan agama turut campur dalam kehidupan sehari-hari, misalkan dalam perilaku, perekonomian, termasuk kebebasan dalam membelanjakan harta mereka. Kebebasan dalam membelanjakan harta ataupun menghancurkannya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama karena ini adalah kebebasan individu. Hal itu adalah pemahaman kaum Nabi Syu’aib terhadap agama Islam, sebuah pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan pemahaman yang dimiliki oleh sejumlah orang seperti sekarang ini.

C.    Dakwah Nabi Syu’aib
Persis seperti dakwah yang diemban oleh para nabi yang lainnya dan tidak ada perbedaan antara nabi yang satu dengan nabi yang lainya, Nabi Syu’aib juga mengajak umatnya untuk meng-Esa-kan Allah SWT. Karena Dialah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah.
 “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada Illah bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah dating kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu.” (QS. Al-A’raf: 85)

“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.” (QS. Hud: 84)

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka Syuaib, maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan". (QS. Al-Ankabut: 36)

Akan tetapi para penduduk Aikah (Madyan) itu tidak percaya dan malah mendustakan Nabi Syu’aib, seperti dalam firman Allah SWT:

“Penduduk Aikah telah mendustakan para Rasul-rasul.” (QS. Asy-Syu’ara: 176)

“Mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir, dan kamu tidak lain melainkan manusia seperti kami, dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang yang berdusta.” (QS. Asyu’ara: 185-186)

Setelah menyelesaikan masalah tauhid, Nabi Syu’aib A.s langsung berpindah ke masalah interaksi antar manusia sehari-hari, yakni persoalan amanah (dapat dipercaya) dan keadilan. Kala itu, penduduk Madyan terbiasa mengurangi takaran dan timbangan, serta tidak memberikan hak kepada orang lain dengan semestinya. Ini jelas perbuatan kotor yang bisa menodai kesucian hati dan tangan, juga bisa menodai nama baik dan kehormatan seseorang.[4]
Hal tersebut masih bersifat larangan yang pasif, itu terlihat pada firman Allah SWT sebagai berikut:

“Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Hud: 84)

Selanjutnya beliau  menasehatinya dengan bentuk aktif agar mereka melakukan takaran dan timbangan dengan adil jangan sampai merugikan atau mengurangi hak orang lain.
Sebagai mana firman Allah SWT sebagi berikut:

“Dan Syuaib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”  (QS. Hud: 85)

“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al-A’raf: 85)

D.    Do’a Nabi Syu’aib
Setelah berapa lama Nabi Syu’aib berdakwah kepada kaum Madyan, ternyata hanya sedikit yang beriman dan mengikutinya, kebanyakan dari mereka mendustakan dan tidak percaya akan apa yang dibawa oleh Nabi Syu’aib A.s. Mereka pun malah menantang adzab yang telah dijanjikan oleh Nabi Syu’aib jika mereka tidak beriman kepadanya. Maka Nabi Syu’aib berdo’a kepada Allah SWT, hal itu terungkap pada QS. Al-A’raf: 89

“Ya Rabb kami, berilah keputusan kami dan kaum kami dengan haq (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.”

Maksud dari ayat tersebut yaitu, Allah adalah sebaik-baik pemberi keputusan. Maka Syu’aib pun mendoakan keburukan bagi kaumnya, dan Allah tidak akan menolak do’a para Rasul-Nya jika mereka meminta agar dimenangkan atas orang-orang yang ingkar dan kafir kepada-Nya serta menentang Rasul-Nya.[5]
E.     Adzab Kaum Madyan
Seruan Nabi Syu’aib a.s. ditentang keras oleh mereka, setelah  mendengar perkataan Nabi Syu’aib a.s. mereka menjawab:
"Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." (Q.S: Hud 87)
Setelah mendengar perkataan yang keluar dari mulut mereka itu, Nabi Syu’aib agak tercengang, lalu berkata untuk menyadarkan mereka :
"Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Lut tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. (Q.S:Huud: 88-90)
Setelah mendengar perkataan yang berbau nasehat dari Nabi Syu’aib itu, lalu mereka berkata mengejeknya:
"Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.(Q.S Huud : 91)
Mereka tidak kepalang tanggung mengejek dan menentang seruan Nabi Syu’aib, dengan kata-kata kotor yang keluar dari mulut mereka meminta segera didatangkan azab Allah yang diancam olehnya, permntaan mereka ternyata segera diberikan oleh Allah, dengan azab berupa gempa bumi yang dahsyat, sebagaimana yang disebut dalam Al-Quran:
Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.(Q.S. Al-A’raf: 91)
Demikianlah siksaan Allah yang langsung menimpamereka sesuai dengan permintaannya. Menjelang kejadian yang dahsyat itu, Nabi Syu’aib beserta orang-orang yang beriman hijrah ke negeri lain, yaitu Negeri Aikah, suatu desa yang tidak jauh dari Madyan.
Sewaktu beliau akan meninggalkan kota itu berpesan kepada kaumnya,
“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (Q.S Al-A’raf: 93)[6]
F.     Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Syu’aib
1.      Ikhlas
Nabi Syu’aib dalam menyampaikan dakwahnya senantiasa ikhlas dan tidak mengharapkan upah dari kaumnya, hal itu dapat dijadikan contoh bagi kita selaku umat Isalam untuk senantiasa bersikap ikhlas dalam berdakwah. Sebagimana firman Allah:
“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tiada lain dari Rabb semesta alam.”  (Asy-Syu’ara: 180)
2.      Tawakal
Nabi Syu’aib menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, setelah beliau berusaha semaksimal mungkin mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah SWT.
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
3.      Sabar
Dalam menjalankan dakwahnya, Nabi Syu’aib selalu mendapatkan tantangan dan rintangan dari kaumnya, namun walaupun demikian beliau senantiasa bersabar dalam menghadapi itu semua.
“Jika segolongan dari kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah hingga Allah menetapkan hukumannya diantara kita. dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf: 87)

4.      Amanah dan dapat dipercaya
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Syu’aib ialah beliau selalu mengajarkan sikap amanah dan dapat dipercaya kepada kaumnya. Hal itu terlihat dalam setiap perintahnya untuk senantiasa menyempurnakan takaran dan timbangan, agar supaya mereka menjaga amanah dan dapat dipercaya orang lain.

 “Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al-A’raf: 85)

DAFTAR PUSTAKA

Bahjat, Ahmad, Nabi-nabi Allah, Penerjemah: Muhtadi Kadi dan Musthofa Sukawi, Jakarta: Qisthi Press, 2008
Hilali, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-, Kisah Shahih Para Nabi, Penerjemah: M. Abdul Goffar, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009.
Shabuniy, Muhammad Ali Ash-, Kenabian dan Para Nabi, Penerjemah: Arifin Jamian Maun, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Adib Bisri, Abdul Mujieb, Qishashul Anbiya Dalam Al-Qur’an, Surabaya: P.T. Bungkul Indah.


       [1] Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Kisah Shahih Para Nabi, Penerjemah: M. Abdul Goffar, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009. Jilid II, cet. Ke-2, hal. 390.
[2] Adib Bisri, Abdul Mujieb, Qishashul Anbiya Dalam Al-Qur’an, Surabaya: P.T. Bungkul Indah. Hal 189
                [3] Ahmad Bahjat, Nabi-nabi Allah, Penerjemah: Muhtadi Kadi dan Musthofa Sukawi, Jakarta: Qisthi Press, 2008. cet ke-2, hal 214.
       [4] Ahmad Bahjat, Nabi-nabi Allah,. .. .. hal. 212
       [5] Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Kisah Shahih Para Nabi,. .. .. hal. 407
[6] Adib Bisri, Abdul Mujieb, Qishashul Anbiya Dalam Al-Qur’an, Surabaya: P.T. Bungkul Indah. Hal 191-192

3 komentar: